Era Keterbukaan Informasi: Nowhere to Hide

Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) telah berakhir pada 31 Maret 2017 yang lalu. Berakhirnya Tax Amnesty menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan penegakan hukum terhadap WP yang belum patuh. Momentum penegakan hukum ini juga semakin diperkuat dengan datangnya era keterbukaan informasi keuangan untuk tujuan perpajakan atau lebih dikenal dengan sebutan Automatic Exchange of Information (AEOI). Indonesia bersama 101 negara lain di dunia yang berkomitmen untuk menerapkan keterbukaan informasi ini. Implementasi AEOI di Indonesia ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2017 pada tanggal 8 Mei 2017 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 pada 30 Agustus 2017.
Melalui peraturan tersebut pemerintah akan makin mudah memperoleh akses informasi perbankan sehingga potensi penambahan penerimaan negara khususnya dari sektor perpajakan akan semakin meningkat. Sebelum Perpu ini ditetapkan, sebenarnya pemerintah sudah memiliki kewenangan untuk mengakses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan kepada Bank melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Proses mendapatkan izin kepada OJK kerap membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Akibatnya, pemeriksaan pajak menjadi lebih lama bahkan melewati batas waktu pemeriksaan suatu perkara.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan negara-negara anggota G20 termasuk Indonesia sepakat untuk menjalankan kerja sama pertukaran informasi perpajakan otomatis Automatic Exchange of Information (AEoI) paling lambat September 2018. Upaya tersebut dilakukan guna mencegah berbagai praktik penghindaran pajak di dunia. Pada Juni 2015, Indonesia telah menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA), perjanjian ini bertujuan memberikan fasilitas pertukaran informasi antar anggota Global Forum. Kerja sama pertukaran informasi penting bagi tercapainya aturan dan implementasi perpajakan yang adil antarnegara, tidak ada lagi tempat aman untuk para penghindar pajak di dunia. Para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral G20 secara bulat menyepakati agar program AEoI sepenuhnya diimplementasi mulai September 2017 dan selambat-lambatnya pada September 2018. Itu adalah bagian dari pelaksanaan komitmen kita di dunia internasional, karena kita akan comply dalam keterbukaan informasi.
Masyarakat tidak perlu resah dengan AEOI ini karena akses informasi keuangan ini hanya ditujukan untuk kepentingan perpajakan, tidak untuk kepentingan lain. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melindungi keamanan dan kerahasiaan data nasabah sesuai dengan ketentuan UU perpajakan dan perjanjian internasional. Hanya pejabat DJP tertentu saja yang mendapatkan akses dan terdapat sanksi pidana bagi yang membocorkan. Di samping itu, tidak semua data nasabah wajib dilaporkan secara otomatis kepada DJP karena akan ditetapkan batasan (threshold). Sepanjang dana nasabah beserta penghasilan yang menjadi sumber atas dana nasabah tersebut telah dilaporkan ke dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan, tentunya tidak akan ada masalah dalam hal perpajakan.

Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan-undangan dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan. Ketentuan teknis AEOI di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 yang telah diubah dengan PMK Nomor 73/PMK.03/2017. Ketentuan teknis dimaksud meliputi:
A. Ruang Lingkup
1. perjanjian internasional (nasabah asing)
2. pelaksanaan peraturan perpajakan (nasabah domestik)

B. Sifat Pemberian Informasi
1. otomatis (tanpa diminta Direktur Jenderal Pajak/Dirjen Pajak) melalui laporan,
2. berdasarkan permintaan Dirjen Pajak
C. Subjek Pelapor/Pemberi Informasi
Penyampaian informasi keuangan secara otomatis wajib dilakukan oleh Lembaga Keuangan (LK) Pelapor yang merupakan Lembaga Keuangan yang menjalankan usaha sebagai lembaga kustodian, lembaga simpanan, perusahaan asuransi, entitas investasi, yang terdiri atas:
1. Lembaga Jasa Keuangan (LJK): perbankan, pasar modal, perasuransian;
2. LJK Lainnya: lembaga yang diawasi OJK selain 3 sektor di atas;
3. Entitas lain, misalnya koperasi simpan pinjam dan pialang berjangka.
Penyampaian informasi keuangan secara otomatis tidak wajib dilakukan oleh Lembaga Keuangan Nonpelapor yang meliputi:
1. entitas pemerintah, organisasi internasional, atau bank sentral
2. dana pensiun tertentu
3. kontrak investasi kolektif yang dikecualikan
4. trust tertentu
5. entitas lain yang berisiko rendah untuk digunakan dalam penghindaran pajak. Baik LK Pelapor maupun LK Nonpelapor wajib mendaftarkan diri ke DJP, baik secara langsung, elektronik maupun melalui pos, jasa ekspedisi maupun kurir paling lama akhir bulan kedua:
• tahun kalender berikutnya setelah memenuhi ketentuan sebagai LK. (internasional)
• setelah tahun kalender pelaporan informasi keuangan pertama kali berakhir. (domestik)
Jika terdapat LK (Pelapor dan Non Pelapor) yang tidak mendaftar atau jika LK yang mendaftar sebagai Nonpelapor telah memenuhi kriteria sebagai LK Pelapor, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan secara jabatan.
D. Ketentuan Pemberian Informasi Keuangan
I. Pelaporan Otomatis
1. Pelaksanaan Perjanjian Internasional (Nasabah Asing)
LK Pelapor meninjau rekening keuangan dan mengidentifiaksi rekening keuangan yang wajib dilaporkan, kemudian menerapkan prosedur identifikasi dan menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan untuk setiap rekening keuangan kepada DJP, baik melalui OJK (untuk LJK) maupun secara langsung (untuk LJK lainnya atau entitas lain). Batasan rekening keuangan yang wajib dilaporkan adalah:
a. rekening yang dimiliki entitas:
• telah dibuka sebelum 1 Juli 2017: agregat saldonya lebih dari USD250.000.
• dibuka sejak 1 Juli 2017: tanpa batasan saldo minimal.
b. rekening yang dimiliki orang pribadi: tanpa batasan saldo minimal.
2. Pelaksanaan Peraturan Perpajakan (Nasabah Domestik)
Batasan rekening yang wajib dilaporkan:
a. Sektor Perbankan (simpanan):
• dimiliki oleh orang pribadi: agregat saldo paling sedikit Rp1 miliar;
• dimiliki oleh entitas: tanpa batasan saldo minimal;
b. Sektor Perasuransian (polis): nilai pertanggungan paling sedikit Rp1 Miliar;
c. Sektor Perkoperasian (simpanan): agregat saldo paling sedikit Rp1 Miliar.
d. Sektor Pasar Modal (efek) dan Perdagangan Berjangka Komoditi (deposit margin): tanpa batasan saldo minimal.
Laporan informasi keuangan tersebut paling sedikit memuat:
a. identitas pemegang rekening keuangan,
b. nomor rekening keuangan,
c. identitas lembaga jasa keuangan,
d. saldo atau nilai rekening keuangan, dan
e. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
II. Pemberian Informasi Keuangan atas Permintaan Dirjen Pajak
Dirjen Pajak berwenang meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan (selain informasi dari laporan otomatis) kepada LK (baik kantor pusat, kantor cabang, maupun unit yang mengelola informasi dan/atau bukti atau keterangan dimaksud) melalui surat permintaan. Surat permintaan dimaksud memuat setidaknya informasi/bukti/keterangan yang diminta; format dan cara pemberian yang diminta; serta alasan dilakukannya permintaan. LK wajib memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang diminta ke DJP maksimal 1 (satu) bulan sejak permintaan diterima. Selain Dirjen Pajak, pejabat lain di DJP yang dapat meminta informasi keuangan yaitu:
a. Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Dirjen Pajak;
b. Pejabat Eselon II di Kantor Pusat DJP yang dilimpahi wewenang oleh Dirjen Pajak;
c. Kepala DPP atas nama Dirjen Pajak untuk tujuan pemeriksaan & penagihan pajak.
Ruang Lingkup permintaan informasi dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan antara lain meliputi kegiatan: pengawasan terhadap WP (termasuk untuk kegiatan ekstensifikasi, intelijen, atau penilaian), pemeriksaan, penagihan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan pajak, atau penyelesaian upaya hukum perpajakan, misalnya keberatan, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, atau pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
E. Kerahasiaan
Informasi yang diterima/diperoleh dari LK digunakan sebagai basis data perpajakan DJP dan wajib dijaga kerahasiaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional. Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun pihak yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan kepada pihak yang tidak berwenang. Bagi yang melanggar dapat dipidana dengan pidana kurungan dan denda sesuai ketentuan Pasal 41 UU KUP.
F. Sanksi bagi LK yang Tidak Melakukan Kewajiban
1. Klarifikasi
Dirjen Pajak menerbitkan permintaan klarifikasi bagi LK yang:
a. Tidak memenuhi kewajiban prosedur identifikasi rekening keuangan (internasional);
b. Tidak memenuhi kewajiban dokumentasi (internasional);
c. Pemalsuan dokumen atau mengurangi informasi yang wajib dilaporkan;
2. Teguran Tertulis
Dirjen Pajak menerbitkan teguran tertulis bagi LK yang:
a. Tidak menanggapi klarifikasi/klarifikasi yang diberikan tidak sesuai permintaan sampai batas waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak diterimanya permintaan klarifikasi;
b. Tidak menyampaikan laporan informasi keuangan secara otomatis;
c. Tidak memberikan informasi/bukti/keterangan berdasarkan permintaan.
3. Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) dan Penyidikan
Dirjen Pajak melakukan pemeriksaan bukper terhadap LK apabila sampai dengan batas waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak diterimanya teguran tertulis:
a. Terdapat dugaan pelanggaran;
b. Tidak menyampaikan laporan informasi keuangan secara otomatis;
c. Tidak memberikan informasi/bukti/keterangan berdasarkan permintaan.
Jika berdasarkan hasil bukper ditemukan bukti yang cukup menunjukkan kondisi di atas maka hasil pemeriksaan bukper dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) DJP.

Advertisement