Era Keterbukaan Informasi: Nowhere to Hide

Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) telah berakhir pada 31 Maret 2017 yang lalu. Berakhirnya Tax Amnesty menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan penegakan hukum terhadap WP yang belum patuh. Momentum penegakan hukum ini juga semakin diperkuat dengan datangnya era keterbukaan informasi keuangan untuk tujuan perpajakan atau lebih dikenal dengan sebutan Automatic Exchange of Information (AEOI). Indonesia bersama 101 negara lain di dunia yang berkomitmen untuk menerapkan keterbukaan informasi ini. Implementasi AEOI di Indonesia ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2017 pada tanggal 8 Mei 2017 yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 pada 30 Agustus 2017.
Melalui peraturan tersebut pemerintah akan makin mudah memperoleh akses informasi perbankan sehingga potensi penambahan penerimaan negara khususnya dari sektor perpajakan akan semakin meningkat. Sebelum Perpu ini ditetapkan, sebenarnya pemerintah sudah memiliki kewenangan untuk mengakses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan kepada Bank melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Proses mendapatkan izin kepada OJK kerap membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Akibatnya, pemeriksaan pajak menjadi lebih lama bahkan melewati batas waktu pemeriksaan suatu perkara.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan negara-negara anggota G20 termasuk Indonesia sepakat untuk menjalankan kerja sama pertukaran informasi perpajakan otomatis Automatic Exchange of Information (AEoI) paling lambat September 2018. Upaya tersebut dilakukan guna mencegah berbagai praktik penghindaran pajak di dunia. Pada Juni 2015, Indonesia telah menandatangani Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA), perjanjian ini bertujuan memberikan fasilitas pertukaran informasi antar anggota Global Forum. Kerja sama pertukaran informasi penting bagi tercapainya aturan dan implementasi perpajakan yang adil antarnegara, tidak ada lagi tempat aman untuk para penghindar pajak di dunia. Para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral G20 secara bulat menyepakati agar program AEoI sepenuhnya diimplementasi mulai September 2017 dan selambat-lambatnya pada September 2018. Itu adalah bagian dari pelaksanaan komitmen kita di dunia internasional, karena kita akan comply dalam keterbukaan informasi.
Masyarakat tidak perlu resah dengan AEOI ini karena akses informasi keuangan ini hanya ditujukan untuk kepentingan perpajakan, tidak untuk kepentingan lain. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melindungi keamanan dan kerahasiaan data nasabah sesuai dengan ketentuan UU perpajakan dan perjanjian internasional. Hanya pejabat DJP tertentu saja yang mendapatkan akses dan terdapat sanksi pidana bagi yang membocorkan. Di samping itu, tidak semua data nasabah wajib dilaporkan secara otomatis kepada DJP karena akan ditetapkan batasan (threshold). Sepanjang dana nasabah beserta penghasilan yang menjadi sumber atas dana nasabah tersebut telah dilaporkan ke dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan, tentunya tidak akan ada masalah dalam hal perpajakan.

Akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan-undangan dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan. Ketentuan teknis AEOI di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 yang telah diubah dengan PMK Nomor 73/PMK.03/2017. Ketentuan teknis dimaksud meliputi:
A. Ruang Lingkup
1. perjanjian internasional (nasabah asing)
2. pelaksanaan peraturan perpajakan (nasabah domestik)

B. Sifat Pemberian Informasi
1. otomatis (tanpa diminta Direktur Jenderal Pajak/Dirjen Pajak) melalui laporan,
2. berdasarkan permintaan Dirjen Pajak
C. Subjek Pelapor/Pemberi Informasi
Penyampaian informasi keuangan secara otomatis wajib dilakukan oleh Lembaga Keuangan (LK) Pelapor yang merupakan Lembaga Keuangan yang menjalankan usaha sebagai lembaga kustodian, lembaga simpanan, perusahaan asuransi, entitas investasi, yang terdiri atas:
1. Lembaga Jasa Keuangan (LJK): perbankan, pasar modal, perasuransian;
2. LJK Lainnya: lembaga yang diawasi OJK selain 3 sektor di atas;
3. Entitas lain, misalnya koperasi simpan pinjam dan pialang berjangka.
Penyampaian informasi keuangan secara otomatis tidak wajib dilakukan oleh Lembaga Keuangan Nonpelapor yang meliputi:
1. entitas pemerintah, organisasi internasional, atau bank sentral
2. dana pensiun tertentu
3. kontrak investasi kolektif yang dikecualikan
4. trust tertentu
5. entitas lain yang berisiko rendah untuk digunakan dalam penghindaran pajak. Baik LK Pelapor maupun LK Nonpelapor wajib mendaftarkan diri ke DJP, baik secara langsung, elektronik maupun melalui pos, jasa ekspedisi maupun kurir paling lama akhir bulan kedua:
• tahun kalender berikutnya setelah memenuhi ketentuan sebagai LK. (internasional)
• setelah tahun kalender pelaporan informasi keuangan pertama kali berakhir. (domestik)
Jika terdapat LK (Pelapor dan Non Pelapor) yang tidak mendaftar atau jika LK yang mendaftar sebagai Nonpelapor telah memenuhi kriteria sebagai LK Pelapor, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan secara jabatan.
D. Ketentuan Pemberian Informasi Keuangan
I. Pelaporan Otomatis
1. Pelaksanaan Perjanjian Internasional (Nasabah Asing)
LK Pelapor meninjau rekening keuangan dan mengidentifiaksi rekening keuangan yang wajib dilaporkan, kemudian menerapkan prosedur identifikasi dan menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan untuk setiap rekening keuangan kepada DJP, baik melalui OJK (untuk LJK) maupun secara langsung (untuk LJK lainnya atau entitas lain). Batasan rekening keuangan yang wajib dilaporkan adalah:
a. rekening yang dimiliki entitas:
• telah dibuka sebelum 1 Juli 2017: agregat saldonya lebih dari USD250.000.
• dibuka sejak 1 Juli 2017: tanpa batasan saldo minimal.
b. rekening yang dimiliki orang pribadi: tanpa batasan saldo minimal.
2. Pelaksanaan Peraturan Perpajakan (Nasabah Domestik)
Batasan rekening yang wajib dilaporkan:
a. Sektor Perbankan (simpanan):
• dimiliki oleh orang pribadi: agregat saldo paling sedikit Rp1 miliar;
• dimiliki oleh entitas: tanpa batasan saldo minimal;
b. Sektor Perasuransian (polis): nilai pertanggungan paling sedikit Rp1 Miliar;
c. Sektor Perkoperasian (simpanan): agregat saldo paling sedikit Rp1 Miliar.
d. Sektor Pasar Modal (efek) dan Perdagangan Berjangka Komoditi (deposit margin): tanpa batasan saldo minimal.
Laporan informasi keuangan tersebut paling sedikit memuat:
a. identitas pemegang rekening keuangan,
b. nomor rekening keuangan,
c. identitas lembaga jasa keuangan,
d. saldo atau nilai rekening keuangan, dan
e. penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
II. Pemberian Informasi Keuangan atas Permintaan Dirjen Pajak
Dirjen Pajak berwenang meminta informasi dan/atau bukti atau keterangan (selain informasi dari laporan otomatis) kepada LK (baik kantor pusat, kantor cabang, maupun unit yang mengelola informasi dan/atau bukti atau keterangan dimaksud) melalui surat permintaan. Surat permintaan dimaksud memuat setidaknya informasi/bukti/keterangan yang diminta; format dan cara pemberian yang diminta; serta alasan dilakukannya permintaan. LK wajib memberikan informasi dan/atau bukti atau keterangan yang diminta ke DJP maksimal 1 (satu) bulan sejak permintaan diterima. Selain Dirjen Pajak, pejabat lain di DJP yang dapat meminta informasi keuangan yaitu:
a. Kepala Kantor Wilayah DJP atas nama Dirjen Pajak;
b. Pejabat Eselon II di Kantor Pusat DJP yang dilimpahi wewenang oleh Dirjen Pajak;
c. Kepala DPP atas nama Dirjen Pajak untuk tujuan pemeriksaan & penagihan pajak.
Ruang Lingkup permintaan informasi dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan antara lain meliputi kegiatan: pengawasan terhadap WP (termasuk untuk kegiatan ekstensifikasi, intelijen, atau penilaian), pemeriksaan, penagihan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan pajak, atau penyelesaian upaya hukum perpajakan, misalnya keberatan, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, atau pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
E. Kerahasiaan
Informasi yang diterima/diperoleh dari LK digunakan sebagai basis data perpajakan DJP dan wajib dijaga kerahasiaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional. Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun pihak yang melakukan tugas di bidang perpajakan, dan tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan kepada pihak yang tidak berwenang. Bagi yang melanggar dapat dipidana dengan pidana kurungan dan denda sesuai ketentuan Pasal 41 UU KUP.
F. Sanksi bagi LK yang Tidak Melakukan Kewajiban
1. Klarifikasi
Dirjen Pajak menerbitkan permintaan klarifikasi bagi LK yang:
a. Tidak memenuhi kewajiban prosedur identifikasi rekening keuangan (internasional);
b. Tidak memenuhi kewajiban dokumentasi (internasional);
c. Pemalsuan dokumen atau mengurangi informasi yang wajib dilaporkan;
2. Teguran Tertulis
Dirjen Pajak menerbitkan teguran tertulis bagi LK yang:
a. Tidak menanggapi klarifikasi/klarifikasi yang diberikan tidak sesuai permintaan sampai batas waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak diterimanya permintaan klarifikasi;
b. Tidak menyampaikan laporan informasi keuangan secara otomatis;
c. Tidak memberikan informasi/bukti/keterangan berdasarkan permintaan.
3. Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) dan Penyidikan
Dirjen Pajak melakukan pemeriksaan bukper terhadap LK apabila sampai dengan batas waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak diterimanya teguran tertulis:
a. Terdapat dugaan pelanggaran;
b. Tidak menyampaikan laporan informasi keuangan secara otomatis;
c. Tidak memberikan informasi/bukti/keterangan berdasarkan permintaan.
Jika berdasarkan hasil bukper ditemukan bukti yang cukup menunjukkan kondisi di atas maka hasil pemeriksaan bukper dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) DJP.

Advertisement

Insentif Pasca TA: PAS-Final

Screenshot_20171217-113725Beberapa waktu lalu pemerintah kembali melakukan relaksasi dan memberikan insentif terkait kebijakan perpajakan pasca Amnesti Pajak. Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 165/PMK.03/2017 sebagai revisi kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Program Pengampunan Pajak. Di dalam PMK-165 ini Pemerintah memberikan opsi terkait penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) untuk memperoleh fasilitas pembebasan PPh atas balik nama aset tanah dan/atau bangunan yang diungkapkan dalam program Amnesti Pajak terdahulu dengan memberikan alternatif lain yaitu dapat pula menggunakan Surat Keterangan Pengampunan Pajak (S-Ket). Kebijakan ini merupakan respon cepat pemerintah mengantisipasi kemungkinan penumpukan permohonan SKB terkait hal tersebut di KPP sehubungan dengan batas waktu pengajuan SKB untuk memperoleh fasilitas pembebasan PPh atas balik nama aset tanah dan/atau bangunan yang diungkapkan dalam program Amnesti Pajak yang akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2017. Selain itu, PMK ini juga mengatur mengenai prosedur perpajakan bagi Wajib Pajak (WP) yang melaporkan aset yang belum diungkkapkan sebelum aset tersebut ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Prosedur perpajakan ini disebut Pengungkapan Aset secara Sukarela dengan Tarif Final (PAS-Final). Melalui kebijakan ini, pemerintah memberi kesempatan bagi seluruh WP (baik yang ikut Amnesti Pajak maupun yang tidak) yang memiliki harta yang masih kurang/ belum dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) maupun Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2015 untuk mengungkapkan sendiri aset tersebut sepanjang DJP belum menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) Pajak sehubungan dengan ditemukannya data aset yang belum diungkapkan tersebut.

Mengingat pengungkapan tersebut dilakukan sendiri oleh WP sebelum aset tersebut ditemukan oleh DJP, maka ketentuan sanksi dalam Pasal 18 UU Pengampunan Pajak tidak berlaku bagi WP yang memanfaatkan program PAS-Final (yaitu sanksi 200% untuk WP yang ikut Amnesti Pajak atau 2% per bulan untuk WP yang tidak ikut). Sementara aset yang dapat diungkapkan adalah aset yang diperoleh WP dan masih dimilikinya sampai dengan 31 Desember 2015.

Prosedur program PAS-Final dilaksanakan WP dengan cara menyampaikan SPT Masa PPh Final ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana WP terdaftar dengan dilampiri Surat Setoran Pajak (SSP) dengan Kode Akun Pajak (KAP) 411128 dan Kode Jenis Setoran (KJS) 422. Tarif pajak penghasilan (PPh) final yang dikenakan adalah sebagai berikut:

tarif

Continue reading “Insentif Pasca TA: PAS-Final”

Frequently Ask Question (FAQ) Terkait e-Filing

lapor SPT

Apa yang dimaksud dengan e-Filing?

e-Filing adalah suatu cara penyampaian SPT Tahunan PPh secara elektronik yang dilakukan secara online dan real time melalui internet pada website Direktorat Jenderal Pajak (https://djponline.pajak.go.id) atau Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP). Layanan e-Filing melalui website Direktorat Jenderal Pajak hanya melayani penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi yang menggunakan Formulir 1770 S dan 1770 SS.

Apa yang dimaksud dengan e-FIN?

Electronic Filing Identication Number (e-FIN) adalah nomor identitas yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak kepada Wajib Pajak yang mengajukan permohonan untuk melaksanakan e-Filing.

Bagaimana cara mengajukan permohonan untuk memperoleh e-FIN?

Permohonan untuk memperoleh e-FIN dapat disampaikan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat dengan cara sebagai berikut:

  1. mengisi dan menandatangani Formulir Permohonan e-FIN;
  2. melampirkan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Surat Keterangan Terdaftar dan Kartu Tanda Penduduk;
  3. menunjukkan surat kuasa khusus bermeterai dan fotokopi identitas Wajib Pajak dalam hal
  4. permohonan disampaikan oleh kuasa Wajib Pajak;
  5. membawa kartu identitas diri Wajib Pajak atau kuasanya untuk ditunjukkan kepada petugas pajak.

Apa yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak setelah memperoleh e-FIN agar dapat memanfaatkan layanan e-Filing?

  1. Wajib Pajak harus mendaftarkan diri melalui website Direktorat Jenderal Pajak (djponline.pajak.go.id) paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak diterbitkannya e-FIN;
  2. Pendaftaran dilakukan dengan mengisi Form Registrasi e-Filing pada website DJP dan Wajib Pajak diwajibkan untuk mencantumkan alamat surat elektronik (email address) dan nomor telepon seluler (handphone) yang valid dan aktif sebagai sarana untuk pengiriman kode verikasi, notikasi, dan Bukti Penerimaan Elektronik pada proses e-Filing;
  3. Setelah proses registrasi berhasil maka Wajib Pajak akan menerima email yang berisi username, password, dan tautan untuk mengaktifkan akun e-Filing;
  4. Dengan meng-klik link tautan atau menyalin link tautan dalam browser maka akun e-Filing sudah diaktifkan dan wajib Pajak dapat melakukan login untuk masuk dalam akun e-Filing.

Apakah e-SPT sama dengan e-Filing?

e-SPT adalah data SPT Wajib Pajak dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh Wajib Pajak dengan menggunakan aplikasi e-SPT sedangkan e-Filing adalah cara penyampaian e-SPT secara online dan real time melalui internet.

Cara Penyampaian SPT Tahunan PPh secara e-Filing melalui https://djponline.pajak.go.id :

efin

AR

Selebriti Indonesia Bersinergi dengan DJP Turut Membangun Negeri

B9mVbOhCEAApu9kHari Kamis tanggal 12 Pebruari 2015 ini, para selebriti Indonesia diundang Ditjen Pajak  untuk berdialog membahas issue pajak. Tema acaranya adalah ‘Selebriti Membangun Negeri’. Acara dihadiri oleh Dirjen Pajak yang baru yaitu Bapak Sigit Priadi Pramudito.  Seperti diketahui, Ditjen Pajak tahun ini sedang fokus pada kepatuhan wajib pajak termasuk para wajib di kalangan selebriti. Hal ini dilakukan terkait masih rendahnya tingkat kepatuhan kalangan profesi tertentu dalam membayar pajak, hal tersebut berpengaruh kepada masih rendahnya penerimaan Wajib Pajak orang pribadi. Profesi selebriti menjadi salah satu Wajib Pajak yang menjadi sorotan, karena diketahui beberapa dari mereka dianggap memiliki penghasilan yang besar dari sektor bisnis hiburan.

B9nfscdCAAAyUD1

B9nv5FcIcAEDBo_

Mengunjungi Performance Management and Delivery Unit (Pemandu) di Putrajaya Malaysia

DSCF1449
PEMANDU @Putrajaya

Alhamdulillah kali ini saya masih diberikan kesempatan oleh Alloh mengunjungi negeri Jiran Malaysia di bulan Oktober 2014 ini. Kali ini saya memperoleh kesempatan untuk mengikuti training Certified Organizational Project Management and Change Management in the Public Sector yang diselenggarakan oleh SETYM International dari Quebec Canada. Pelatihan selama 5 hari itu diberikan kepada seluruh ketua tim Iniciatives Leader Transformasi Kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak yang berjumlah 16 orang. Materi yang disampaikan sebenarnya menurut saya biasa saja, tidak banyak hal baru yang saya peroleh disitu, namun demikian khususnya untuk kegiatan field study ke Putrajaya dan 2 orang guest lecture dari Malaysia yang membuat training tersebut jadi berbeda dan lebih bernilai. Kunjungan ke Performance Management and Delivery Unit (Pemandu) di Putrajaya menjadi klimaks dari training tersebut. Pengalaman yang saya peroleh ketika mengunjungi Pemandu (kalau di Indonesia disejenis dengan UPKP4) berdiskusi dengan Datok Chris Tan membuat saya terkesima tentang perkembangan Malaysia yang begitu pesat dalam megelola pemerintahannya. Hal tersebut dibuktikan dengan pembangunan kompleks pemerintahan Malaysia di Putrajaya yang begitu megahnya.

Menurut ulasan dalam website PEMANDU (http://www.pemandu.gov.my/), organisasi ini didirikan pada 16 September 2009 dan merupakan unit di bawah Departemen Perdana Menteri. Peran utama PEMANDU dan tujuannya adalah untuk mengawasi pelaksanaan, menilai kemajuan, memfasilitasi serta mendukung kemajuan Government Transformation Programme (GTP) dan Economic Transformation Programme (ETP).  Ketua dewan PEMANDU adalah Perdana Menteri Malaysia, YAB Dato ‘Sri Mohd Najib Bin Tun Abdul Razak. Jabatan Wakil Ketua dan Chief Executive Officer PEMANDU dipegang oleh Menteri di Departemen Perdana Menteri, YB Senator Dato ‘Sri Idris Jala.  Sementara tanggung jawab end-to-end delivery untuk National Key Results Areas (NKRAs) dan Ministerial Key Results Areas (MKRAs)  beserta hasil akhirnya terletak pada masing-masing kementerian. Sedangkan keberhasilan National Key Economic Areas (NKEAs) terletak pada pribadi masing-masing sektor.

pemanduPEMANDU telah diamanatkan untuk mengkatalisasi perubahan di sektor publik dan swasta, mendukung kementerian dalam proses perencanaan dan memberikan pandangan yang independen terhadap kinerja dan kemajuan ke PM dan para menterinya. PEMANDU juga bertugas memfasilitasi pelaksanaan Entry Point Projects (EPPs) dan Business Opportunities (BOs)  yang telah diidentifikasi untuk memastikan bahwa Malaysia akan berubah menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2020. Agar PEMANDU dapat melaksanakan tanggung jawabnya secara efektif, maka diperlukan dukungan dari dua sektor layanan sipil dan sektor swasta untuk bekerja bersama-sama membangun Malaysia.

Lokasi PEMANDU berada di Putrajaya. Merujuk tulisan di Wikipedia Putrajaya adalah pusat administrasi pemerintah Malaysia menggantikan Kuala Lumpur. Kota ini berjarak sekitar 30 km sebelah selatan Kuala Lumpur, Putrajaya memang menjadi tempat yang ideal bagi pemerintah Malaysia untuk memindahkan pusat administrasi dan keuangannya apalagi mengingat kondisi Kuala Lumpur yang sudah begitu padat. Kota ini dibangun pada 19 Oktober 1995 dimana namanya diambil dari nama PM Malaysia yang pertama yaitu Tunku Abdul Rahman Putra. Kota Putrajaya terhubung dengan bandara internasional KLIA dan Kuala Lumpur. Letaknya berada dalam Multimedia Super Coridor berdekatan dengan Cyberjaya. Bererapa tempat menarik di Putrajaya yang sempat saya kunjungi  antara lain:

A. Kantor Perdana Menteri. Kantor Perdana Menteri Malaysia selintas terlihat seperti sebuah masjid karena dibagian atapnya terdapat sebuah kubah berwarna hijau. Konstruksi bangunan ini sangat dominan karena terletak di blok utama.

IMG_4198
Iniciatives Leader TK DJP with Datok Chris Tan from PEMANDU
DSCF7524
Foto by Fish aye Pak Rudy Hartono

B. Putra Mosque (Masjid Pink). Masjid ini lebih dikenal dengan nama Masjid Pink karena didominasi oleh granit berwarna merah muda. Masjid ini berada di tepi danau buatan Putrajaya. Masjid ini merupakan destinasi utama para wisatawan karena letaknya yang memang strategis ditengah kawasan dan pada umumnya pasti  dilewati dan dekat dengan tempat-tempat menarik lainnya seperti Putra Square dan Taman Putra Perdana. Masjid ini menurut saya tidak terlalu besar namun arsitekturnya cukup menarik. Tepat disamping masjid terdapat tempat makan Food Court Selera Putra yang menghidangkan aneka masakan melayu. Kemudian bila anda ingin mengelilingi danau Putrajaya maka anda dapat menggunakan perahu yang berada tepat disamping food court tersebut. Dari lokasi Jetty Putra tempat  beberapa Cruise Tasik bersandar tersebut anda dapat menyewa perahu untuk berkeliling menikmati indahnya danau buatan.

B. Seri Perdana Bridge, Dengan lahan seluas 650 hektar serta terdapat danau buatan yang mengelilingi kompleks Putrajaya untuk menghubungkan lokasi satu dengan lainnya dibangunlah 8 jembatan dengan berbagai arsitektur yang berbeda dan menawan. Salah satunya adalah jembatan Seri Perdana ini. Di sepanjang jembatan ini terdapat 8 paviliun peristirahatan sehingga para pejalan kaki dapat menikmati indahnya pemandangan Putrajaya.

DSCF7929

C. Putrajaya International Convention Center. Putrajaya International Convention Centre merupakan satu bangunan megah berbentuk menyerupai topi di salah satu bagian kota Putrajaya. Menurut para pemandu arsitektural dan bentuk bangunannya terinspirasi dari Kerajaan Melayu. Bangunan ini berfungsi sebagai pusat konvensi kelas dunia. Sejumlah fasilitas disediakan disini seperti ruangan pameran, ruang pertemuan, ruang konferensi, lounge, galeri, restoran, outlet belanja dan tempat parkir yang mampu menampung sampai 1.200 mobil. Struktur dan arsitektur bangunannya berbentuk melingkar dan memiliki taman di balik dinding kaca sehingga memungkinkan anda menyaksikan keindahan kota tanpa.

DSCF1454D. Masjid Tuanku Mizan Zainal Abidin. Masjid ini diambil dari nama Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong XIII,  Al-Wathiqu Billah Tuanku Mizan Zainal Abidin Ibni Al-Marhum Sultan Mahmud Al-Muktafi Billah Shah.  Dibangun pada tahun 2004 dan selesai pada tahun 2009.  Masjid Tuanku Mizan Zainal Abidin terletak di Presint 3, Putrajaya. Lokasi masjid sangat strategis dan menarik, berada di tepi danau Putrajaya.  Masjid ini dapat nemapung sampai dengan 20,000 orang  jamaah. Masjid ini terdiri dari bangunan utama masjid dan Kiblat walk yang menghubungkan Kompleks Perbadanan Putrajaya (PJC) dengan Masjid Tuanku Mizan Zainal Abidin.

Bagian dalam ruangan sholat utama tidak menggunakan penyejuk udara/kipas angin namun menggunakan teknologi “Gas District Cooling”. Disamping ruang sholat utama dikelilingi oleh kolam air yang dapat menyejukkan udara para jamaah.

Masih banyak yang perlu dikerjakan bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan… Semoga saya masih diberikan usia untuk melakukan perubahan…. Barokallohu fiik….

20141002_153417
All the best for TK DJP Team

Manajemen Pengelolaan PBB P2: Mempersiapkan Pokok Ketetapan

1Diskusi mengenai hal ini silakan menghubungi via email: eddiwahyudi@gmail.com, PIN BBM: 2849E829

Tak terasa tahun 2013 merupakan tahun terakhir PBB P2 dikelola oleh pemerintah pusat. Sementara tidak lama lagi mulai 1 Januari 2014 masyarakat Indonesia akan dihadapkan pada perubahan besar dalam tata pengelolaan pajak properti. Seiring dengan era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, mau tidak mau hal ini akan terjadi. Salah satunya adalah dengan didevolusinya PBB P2 menjadi pajak daerah sebagai amanah dari UU No. 28 Tahun 2009 dimana proses devolusinya akan dilakukan secara bertahap sampai tahun 2014 nanti tergantung dari kesiapan daerah itu sendiri.

Wacana untuk pendaerahan PBB P2 sebenarnya sudah bergulir sejak lama. Bahkan menurut situs BPPK ide pendaerahan itu sudah ada sejak tahun 60-an, ketika dahulu PBB P2 lebih dikenal dengan Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) yang saat itu masih dikelola oleh Direktorat Jenderal Moneter. Namun mengingat kondisi saat itu tidak memungkinkan  maka wacana tersebut hanya baru sebatas ide saja. Namun tidak disadari dalam perjalanannya wacana itu terus bergulir sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Berdasarkan Undang-undang PDRD ini, Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sebelumnya merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Pelimpahan pengelolaan PBB P2 kepada pemerintah daerah menurut pasal 182 ayat 1 UU PDRD akan dilaksanakan selambat-lambatnya pada 1 Januari 2014. Sesuai dengan fungsi pajak itu sendiri yaitu:

  1. Fungsi Alokasi dimana pajak berfungsi sebagai sumber penerimaan keuangan negara yang kemudian digunakan untuk dialokasikan bagi pengeluaran rutin.
  2. Fungsi regulasi adalah fungsi pajak yang digunakan sebagai alat untuk mengatur atau mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Pendaerahan PBB P2 menurut beberapa penggagasnya, diharapkan akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaannya. Hal ini dinilai akan dapat terwujud bila pengelolaan PBB P2 diserahkan kepada masing-masing pemegang otonomi. Pada gilirannya diharapkan akan membawa iklim demokrasi yang lebih baik karena berakar langsung pada kondisi konkrit di daerah yang bersangkutan. 

Bagaimana cara menyiapkan ketetapan PBB ?

PBB P2 pada dasarnya adalah pajak atas objek berupa tanah dan atau bangunan. Berbeda dengan BPHTB yang lebih bersifat self asessment dimana pajak ini tidak akan terjadi bila tidak ada perubahan kepemilikan atas properti yang dimiliki oleh wajib pajak. Sehingga pemda sebagai pengelola BPHTB lebih bersifat mengawasi peralihan kepemilikan atas properti tanah dan atau bangunan beserta pengawasan pembayarannya. Sedangkan PBB P2 merupakan pajak properti ini lebih bersifat official asessment. Artinya ketetapan pajaknya harus dipersiapkan terlebih dahulu oleh pemerintah daerah sebelum ditagihkan ke wajib pajak atas properti tanah dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai.

Pahami profile Pokok Ketetapannya

1Simulasikan Ketetapan PBB P2 nya.

2

Berapa Collection Ratio dan Coverage Ratio Optimalnya ?

3

4 Strategi Optimalisasi Pokok Ketetapan:

  1. Tingkatkan Coverage Ratio dengan kegiatan Pendataan wilayah yang belum dikenakan PBB P2,
  2. Tingkatkan Asessment Ratio melalui kegiatan penilaian,
  3. Tingkatkan Collection Ratio   dengan cara meningkatkan kegiatan penagihan aktif (law enforcement),  mempermudah pembayaran (on line), mengurangi kebocoran dg pengawasan,
  4. Optimalisasi kebijakan lainnya seperti: penyesuaian tarif  (dinaiikan/dibuat progressif/dibuat gradasi lapisan) dan menurunkan NJOPTKP.

Semoga bermanfaat…

Diskusi mengenai hal ini silakan menghubungi via:

email: eddiwahyudi@gmail.com, PIN BBM: 2849E829

Mulai 1 Januari 2011 BPHTB Telah Resmi Menjadi Pajak Daerah

Seiring dengan euforia otonomi daerah melalui pola desentralisasi fiskal maka Insya Allah mulai tanggal 1 Januari tahun 2011, pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang biasa dikenal dengan BPHTB akan resmi sepenuhnya menjadi pajak daerah (local tax). Pengalihan wewenang pemungutan atau devolusi BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dengan demikian per tanggal 1 Januari 2011 Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) sudah tidak lagi melayani pengelolaan pelayanan BPHTB, sehingga wajib pajak yang akan melaporkan pembayaran BPHTB sehubungan dengan proses transaksi properti yang dilakukannya akan langsung ditangani oleh Pemerintah Kabupaten/Kota setempat.

Untuk diketahui selama ini pelaksanaan pemungutan BPHTB dilakukan oleh Pemerintah Pusat namun demikian seluruh penerimaan pajaknya diberikan kembali ke Pemerintah Daerah melalui pola bagi hasil. Namun demikian dengan memperhatikan Pasal 180 angka 6 UU PDRD yang menyebutkan bahwa UU UU No. 20 tahun 2000 tentang BPHTB tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini maka tahun 2010 merupakan tahun terakhir bagi Pemerintah Pusat untuk mengelola BPHTB. Selanjutnya, mulai 1 Januari 2011 sangat tergantung dari kesiapan dan minat Kabupaten/Kota untuk menentukan, apakah pengelolaan BPHTB di wilayahnya akan dilaksanakan atau tidak. Dengan pengalihan ini diharapkan BPHTB akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial bagi daerah tertentu, dibandingkan dari keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah selama ini ada.

Disamping itu menurut teori pajak properti internasional yang selama ini dipakai oleh para penggagas UU ini adalah bahwa property tax cenderung lebih bersifat lokal. Fisibilitas dan immobilitasnya menjadi salah satu alasan penting mengapa BPHTB lebih cenderung menjadi pajak daerah. Apalagi jika dikaitkan dengan unsur pelayanan masyarakat, dimana akuntabilitas dan transparansi menjadi isu yang paling disoroti di era otonomi daerah. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa beban pajak properti sering dikaitkan langsung dengan pelayanan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah daerah, misalnya dalam menyediakan/memelihara sarana-prasarana, sehingga secara logika wajar bila pajak properti dikelola langsung oleh pemerintah daerah. Namun kenyataannya apakah demikian ? Hal ini masih menimbulkan tanda tanya khusus untuk kasus di Indonesia dan perlu pembuktian untuk beberapa tahun kedepan.

Tabel 1. Jumlah penerimaan BPHTB per Kabupaten/Kota Tahun 2009

Jika dianalisa lebih jauh jumlah penerimaan BPHTB per Kabupaten/Kota yang nilai ketetapannya diatas 2 miliar rupiah berjumlah 189 (38,4%) sisanya sejumlah 303 Kabupaten/Kota penerimaan BPHTB nya dibawah 1 miliar rupiah. Artinya dengan asumsi biaya investasi PBB-P2 dan BPHTB sebesar 1-1,5 miliar rupiah dan biaya operasional sekitar 1 miliar rupiah per tahun (karena kedua jenis pajak ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, meski untuk PBB-P2 masih ada waktu pengalihannya sampai dengan tahun 2014) maka dalam waktu dekat kecil kemungkinan daerah tersebut akan memungut BPHTB. Rasanya hal ini malah bisa dijadikan insentif sekaligus daya tarik bagi masyarakat untuk mengembangkan propertinya di daerah tersebut. Masalah ini pula yang menjadi concern Menteri Keuangan Agus Martowardojo, dalam keterangan pers di kantornya, Jalan Wahidin, Jakarta, Selasa, 28 Desember 2010 seperti dilansir oleh Vivanews.com, karena menurutnya akan terjadi potensial loss bagi negara apabila sebagian daerah tidak memungut pajak ini.

Tentunya untuk bisa melakukan pemungutan BPHTB, Pemerintah Daerah yang bersangkutan harus terlebih dahulu memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengaturnya, jika tidak memiliki Perda maka Pemerintah Daerah tidak boleh memungut BPHTB. Dengan demikian masyarakat yang akan membeli properti di daerah yang belum memiliki Perda BPHTB tidak perlu membayar pajak tersebut alias gratis karena Perda yang misalnya nanti baru ditetapkan setelah 1 Januari 2011 tidak dapat berlaku surut. Masyarakat juga perlu menyadari bahwa kedepannya akan terjadi keberagaman sistem dan pola pemungutan BPHTB di 492 Kabupaten/Kota, dimana disetiap Pemerintah Daerah diberikan kebebasan untuk mengelola sesuai dengan kemampuannya. Menurut hasil survey kesiapan daerah yang dilakukan oleh Kemenkeu per tanggal 23 Desember 2010 dari 492 daerah yang akan memungut BPHTB, terdapat sekitar 160 daerah yang sudah siap memungut pajak itu (indikator kesiapan adalah Perda sudah siap). Sisanya sebanyak 108 daerah sedang dalam proses penyiapan Perda dan 224 daerah masih belum ada informasi.

Tabel 2. Hasil survey kesiapan daerah dalam memungut BPHTB tahun 2011

Yang dimaksud dengan pengalihan wewenang pemungutan sebenarnya adalah merupakan pengalihan seluruh rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terhutang,  pelaksanaan kegiatan penagihan pajak terhadap Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut UU PDRD adalah money follows functions, yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan tentunya masih dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada daerah. Jika dilihat secara seksama inti dari Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 adalah antara lain:

  1. Pengenaan pajak yang close list, artinya Pemda tidak diperkenankan memungut jenis pajak lain selain yang disebutkan dalam UU tersebut,
  2. Perubahan pola pengawasan yang semula bersifat represif  menjadi ke arah preventif dan korektif,
  3. Terdapat sanksi bagi daerah apabila melanggar,
  4. Mulai memperkenalkan adanya earmarking system, artinya pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis pajak dan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan pelayanan yang bersangkutan,
  5. Terdapat pengalihan hak pemungutan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Tabel 3. Penambahan Jenis Pajak Baru

Adapun tujuan penyempurnaan dari UU PDRD adalah:

  1. Memperbaiki Sistem Pemungutan pajak dan retribusi daerah,
  2. Meningkatkan Local Taxing Power melalui:
    1. Perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah,
    2. Penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB dan BPHTB menjadi Pajak Daerah),
    3. Menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah,
    4. Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah.
  3. Meningkatkan Efektifitas Sistem Pengawasan dengan cara:
    1. Mengubah sistem pengawasan,
    2. Mengenakan sanksi bagi yang melanggar ketentuan PDRD.
  4. Meningkatkan Sistem Pengelolaan melalui penyempurnaan:
    1. Sistem bagi hasil pajak Provinsi,
    2. 2. Pengembangan sistem earmarking,
    3. Memberikan insentif pemungutan.

Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 yang memberikan diskresi tarif dan perluasan basis pajak, maka diharapkan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya akan jauh meningkat. Daerah juga akan lebih mudah dalam menyesuaikan jumlah dan sumber pendapatannya. Dalam hal pengaturan perpajakannya juga terdapat beberapa perbedaan antara Undang-undang BPHTB Nomor 20 Tahun 200 dengan yang tertera dalam Undang-undang PDRD. Perbedaan tersebut dapat dirangkum dalam tabel sebagai berikut ini.

Tabel 4. Perbedaan mendasar antara UU BPHTB dengan UU PDRD

Dalam rangka mempersiapkan pengelolaan BPHTB kepada pemerintah kabupaten/kota ini, maka menurut menurut pasal 182 angka 2 UU PDRD diatur bahwa Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri bersama-sama mengatur tahapan persiapan pengalihan BPHTB sebagai Pajak Daerah dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini. Untuk pelaksanaan persiapan tersebut telah diterbitkan pula Peraturan Bersama (Perber) antara Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 186/PMK.07/2010 dan Nomor 53/2010 tentang tahapan persiapan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah. Menindaklanjuti Perber tersebut kemudian pula telah diatur proses peralihan BPHTB dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor 47/PJ/2010 dan untuk mengakomodasi penataan struktur organisasi Pemda sehubungan dengan pengalihan pajak ini maka diterbitkan pula Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56/2010.

Persoalan yang mungkin akan timbul dari proses devolusi ini adalah antara lain dari segi kemampuan aparat daerah terutama dalam penentuan basis pajak dan pelayanan masyarakatnya. Selain itu, terbuka kemungkinan kecilnya kemauan politik daerah untuk mengenakan tarif yang memadai dan/atau menerapkan sanksi yang keras berhubung terkait langsung dengan kepentingan politik penguasa yang bersangkutan di daerah.

Hal lain yang juga kemungkinan dapat menjadi masalah adalah masih terbatasnya pengalaman daerah dalam pengembangan sistem informasi dan pengembangan infrastruktur penunjang. Kesulitan-kesulitan itu pula yang barangkali menyebabkan sebagian daerah masih lebih suka kalau pajak ini tetap menjadi pajak pusat sementara daerah cukup menunggu bagiannya saja.

Gambar 1. Dampak devolusi BPHTB secara nasional danmanfaat devolusi BPHTB bagi Pemerintah Kabupaten/Kota Berupa peningkatan PAD.

Jika kita lihat dari sisi penerimaan BPHTB, sebenarnya Pemerintah Pusat hanya akan kehilangan penerimaan sekitar 7,4 triliun rupiah (1%) saja dari total penerimaan pajak di APBN. Namun dari sisi Pemerintah Daerah khususnya bagi daerah yang penerimaan BPHTB-nya kecil, maka dengan devolusi ini akan berdampak negatif terhadap PAD-nya. Karena selama ini seluruh Pemda Kabupaten/Kota akan menerima bagi rata sekitar 2 miliar rupiah per tahun. Nah mulai tahun 2011 penerimaan pajak dari bagi rata ini tidak akan diperoleh lagi. Menurut data realisasi penerimaan BPHTB tahun 2009, diperkirakan kemungkinan hanya 89 Kabupaten/Kota (18%) saja yang penerimaan BPHTB-nya akan lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya, sisanya akan mengalami penurunan penerimaan.

Tetapi dari sisi pelayanan, dengan jauh berkurangnya Wajib Pajak yang dilayani oleh Pemerintah Pusat, maka diharapkan pelayanan perpajakan akan jauh lebih baik. Pelayanan yang baik akan meningkatkan kepatuhan perpajakan, yang pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pajak. Dilimpahkannya pengelolaan BPHTB kepada Kabupaten/Kota, bukanlah sekadar untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam memenuhi kebutuhan pengeluarannya, tetapi juga dalam rangka mengefektifkan pengelolaan administrasi dan pelayanannya. Pemerintah Kabupaten/Kota tentu akan lebih memahami seluk beluk daerahnya serta mengetahui pula apa yang terbaik bagi daerahnya. Dari sisi pelayanan kepada Wajib Pajak, pengelolaan BPHTB diharapkan akan menjadi lebih baik.

Semoga demikian adanya, selamat dan sukses bagi Pemda Kabupaten/Kota yang akan mengelola BPHTB per 1 Januari 2011.