Saatnya Pemda Kabupaten/Kota Menyiapkan Pokok Ketetapan PBB P2 2015

IMG_2177Tak terasa sudah hampir satu tahun PBB P2 dikelola oleh pemerintah pemerintah daerah. Seiring dengan era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, salah satunya adalah dengan didevolusinya PBB P2 menjadi pajak daerah sebagai amanah dari UU No. 28 Tahun 2009 dimana proses devolusinya akan dilakukan secara bertahap sampai tahun 2014 . Disadari oleh Pemda Kabupaten/Kota ternyata pengelola PBB P2 bukan hal mudah. Dibutuhkan ketelitian dalam penyiapan kebijakan desain pokok ketapannya agar dapat diterima oleh masyarakat dan memenuhi ekspektasi pemerintah daerah sebagai pengelolanya. Mungkin saat ini sebagian besar Pemda Kabupaten/Kota belum merasakan kesulitan tersebut, karena pada tahun pertama pengalihan masih menggunakan data lama yang sudah disiapkan oleh pemerintah pusat. Namun hal tersebut tidak bisa lagi dibiarkan begitu saja untuk tahun 2015 dan seterusnya, karena lama-kelamaan data tersebut akan semakin usang dan tertinggal nilainya. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin berkurangnya pokok ketetapan PBB P2 jika tidak dilakukan penyesuaian nilai setiap tahunnya. Untuk itu Pemda Kabupaten/Kota perlu menyusun pokok ketetapan PBB P2 setiap tahunnya dengan beberapa kriteria yang mendasarinya sehingga dapat mendorong peningkatan PAD dan dapat diterima oleh masyarakat pembayar pajaknya.

Penyusunan pokok ketetapan PBB P2 yang baik adalah apabila dapat memenuhi ekspektasi dari kedua sisi tersebut. Untuk itu diperlukan sebuah kemampuan manajerial tertentu untuk dapat mengelolanya agar rencana penerimaan pajak PBB P2 dalam APBD yang telah ditetapkan oleh Pemda bersama dengan DPRD dapat diterjemahkan kedalam pokok ketetapan yang tercetak di SPPT, kemudian SPPT tersebut dapat diterima oleh masyarakat dengan baik melalui pembayaran pajaknya.

konsep PBB

Untuk itulah maka Pemda Kota Palangka Raya dan Kabupaten Kapuas merasa perlu untuk menyelenggarakan pelatihan Manajemen Pengelolaan PBB P2 yang intinya mempelajari:

  1. rangkaian kegiatan manajemen pengeloaan PBB P2,
  2. fungsi dan struktur ketetapan PBB P2,
  3. sasaran kebijakan PBB P2 yang akan diterapkan,
  4. aturan-aturan terkait penerapan PBB P2,
  5. cara menyusun strategi peningkatan pokok ketetapan PBB P2 agar mencapai rencana penerimaan yang telah ditetapkan,
  6. kegiatan pendataan,
  7. kegiatan penilaian,
  8. cara merencanakan, menganalisis, menghitung dan menetapkan NJOP tanah dan bangunan,
  9. cara mendesain, mensimulasikan dan menetapkan pokok ketetapan PBB P2,
  10. kegiatan penetapan masal.

Dengan pelatihan tersebut diharapkan persiapan pengelolaan PBB P2 untuk tahun 2015 akan berjalan dengan baik dari dua sisi.

IMG_2064
Wrokshop Manajemen Pengelolaan PBB P2

Detail pelatihan: https://eddiwahyudi.com/workshop/1-manajemen-pengelolaan-pbb-p2/

Advertisement

Indonesia IPTIpedia Country Representatives

I say thank you to Mr. Paul Sanderson, President of the International Property Tax Institute (IPTI) which has given me the confidence to become a Professional Advisory for IPTIpedia for Indonesia. PTIpedia Country Representatives are from both the public and private sectors and assists in Obtaining and updating information relevant to the current tax regimes and practices in their respective jurisdictions. Data is updated on a semi-annual basis.

IPTI advocates the global promotion of effective and efficient property tax policy and practice.  With a strong commitment to facilitating the provision and exchange of key information and sharing best practice, IPTI is focussed on developing the most comprehensive knowledge base concerning property tax including policy, legislation, administration, communication, education, valuation, taxation, collection and enforcement See: http://www.ipti.org/iptis-vision/).

 

IPTI

See at: http://www.ipti.org/advisory-professionals/

Manajemen Pengelolaan PBB P2: Mempersiapkan Pokok Ketetapan

1Diskusi mengenai hal ini silakan menghubungi via email: eddiwahyudi@gmail.com, PIN BBM: 2849E829

Tak terasa tahun 2013 merupakan tahun terakhir PBB P2 dikelola oleh pemerintah pusat. Sementara tidak lama lagi mulai 1 Januari 2014 masyarakat Indonesia akan dihadapkan pada perubahan besar dalam tata pengelolaan pajak properti. Seiring dengan era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, mau tidak mau hal ini akan terjadi. Salah satunya adalah dengan didevolusinya PBB P2 menjadi pajak daerah sebagai amanah dari UU No. 28 Tahun 2009 dimana proses devolusinya akan dilakukan secara bertahap sampai tahun 2014 nanti tergantung dari kesiapan daerah itu sendiri.

Wacana untuk pendaerahan PBB P2 sebenarnya sudah bergulir sejak lama. Bahkan menurut situs BPPK ide pendaerahan itu sudah ada sejak tahun 60-an, ketika dahulu PBB P2 lebih dikenal dengan Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) yang saat itu masih dikelola oleh Direktorat Jenderal Moneter. Namun mengingat kondisi saat itu tidak memungkinkan  maka wacana tersebut hanya baru sebatas ide saja. Namun tidak disadari dalam perjalanannya wacana itu terus bergulir sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Berdasarkan Undang-undang PDRD ini, Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sebelumnya merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Pelimpahan pengelolaan PBB P2 kepada pemerintah daerah menurut pasal 182 ayat 1 UU PDRD akan dilaksanakan selambat-lambatnya pada 1 Januari 2014. Sesuai dengan fungsi pajak itu sendiri yaitu:

  1. Fungsi Alokasi dimana pajak berfungsi sebagai sumber penerimaan keuangan negara yang kemudian digunakan untuk dialokasikan bagi pengeluaran rutin.
  2. Fungsi regulasi adalah fungsi pajak yang digunakan sebagai alat untuk mengatur atau mencapai tujuan-tujuan tertentu.

Pendaerahan PBB P2 menurut beberapa penggagasnya, diharapkan akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaannya. Hal ini dinilai akan dapat terwujud bila pengelolaan PBB P2 diserahkan kepada masing-masing pemegang otonomi. Pada gilirannya diharapkan akan membawa iklim demokrasi yang lebih baik karena berakar langsung pada kondisi konkrit di daerah yang bersangkutan. 

Bagaimana cara menyiapkan ketetapan PBB ?

PBB P2 pada dasarnya adalah pajak atas objek berupa tanah dan atau bangunan. Berbeda dengan BPHTB yang lebih bersifat self asessment dimana pajak ini tidak akan terjadi bila tidak ada perubahan kepemilikan atas properti yang dimiliki oleh wajib pajak. Sehingga pemda sebagai pengelola BPHTB lebih bersifat mengawasi peralihan kepemilikan atas properti tanah dan atau bangunan beserta pengawasan pembayarannya. Sedangkan PBB P2 merupakan pajak properti ini lebih bersifat official asessment. Artinya ketetapan pajaknya harus dipersiapkan terlebih dahulu oleh pemerintah daerah sebelum ditagihkan ke wajib pajak atas properti tanah dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai.

Pahami profile Pokok Ketetapannya

1Simulasikan Ketetapan PBB P2 nya.

2

Berapa Collection Ratio dan Coverage Ratio Optimalnya ?

3

4 Strategi Optimalisasi Pokok Ketetapan:

  1. Tingkatkan Coverage Ratio dengan kegiatan Pendataan wilayah yang belum dikenakan PBB P2,
  2. Tingkatkan Asessment Ratio melalui kegiatan penilaian,
  3. Tingkatkan Collection Ratio   dengan cara meningkatkan kegiatan penagihan aktif (law enforcement),  mempermudah pembayaran (on line), mengurangi kebocoran dg pengawasan,
  4. Optimalisasi kebijakan lainnya seperti: penyesuaian tarif  (dinaiikan/dibuat progressif/dibuat gradasi lapisan) dan menurunkan NJOPTKP.

Semoga bermanfaat…

Diskusi mengenai hal ini silakan menghubungi via:

email: eddiwahyudi@gmail.com, PIN BBM: 2849E829

Penilaian Objek Tanah dan Bangunan Untuk Kepentingan PBB P2

 

Tanah dan Bangunan merupakan barang komoditi atau merupakan barang ekonomi yang berpengaruh sangat kuat terhadap kehidupan bangsa. Negara sebagai organisasi yang mengatur dan memerintah rakyat serta kehidupan bernegara demi mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya berkewajiban untuk mengatur tata hidup dan pendayagunaan tanah baik sebagai barang ekonomi maupun tempat tinggal/papan berumah tangga. Membeli properti baik secara perorangan maupun melalui developer / pengembang properti, ada pajak-pajak yang dikenakan dari pemerintah kepada anda. Biasanya pajak telah dimasukkan ke dalam harga jual jika anda membeli properti melalui developer / pengembang properti. Besarnya pajak sangat tergantung jenis, nilai, luas dan lokasi properti.

 

PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dikenakan terhadap objek pajak berupa tanah dan bangunan yang didasarkan pada azas kenikmatan  dan manfaat dan dibayar setiap tahun. PBB P2 pengenaannya didasarkan pada Undang-undang No. 28 tahun 2009 Tentang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).  Landasan Filosofi PBB P2 adalah sebagai berikut:

 

  1. Bahwa pajak merupakan sumber penerimaan negara yang penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, oleh sebab itu perlu peningkatan peran serta masyarakat,
  2. Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang/badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat darinya, oleh sebab itu wajar apabila kepada mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.

 

Dasar pengenaan PBB P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli  yang terjadi secara wajar, dan bilamana tak terdapat transaksi jual-beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. NJOP meliputi nilai jual permukaan bumi ( tanah, perairan pedalaman  serta laut wilayah Indonesia) beserta kekayaan  alam yang berada di atas maupun di bawahnya, dan / atau bangunan yang melekat di atasnnya. Ketika kita berbicara mengenai NJOP maka tentunya tidak terlepas dari konsep mengenai penilaian.

 

Pengetahuan penilaian tergolong dalam pengetahuan yang masih baru, bahkan perkembangannya dapat dikatakan merupakan ilmu yang sedang banyak dibutuhkan masyarakat diawal abad ke 20. Penilaian dan profesi penilai baru dirasakan manfaat dan keperluannya dalam dunia bisnis maupun pemerintahan  pada awal-awal abad belakangan ini, sehingga merupakan sesuatu yang sangat menentukan dalam perniagaan yang ada sangkutannya dengan property.

 

            Sesungguhnya di Indonesia telah mulai menggunakan ilmu penilaian sejak zaman penjajahan Belanda , yang penggunaan dan pemanfaatannya telah tersebar diberbagai bidang bisnis dan Pemerintahan Penjajahan Belanda pada masa itu. Khususnya dibidang perpajakan dan bisnis hadirnya ilmu penilaian sangat kental kita rasakan, misalnya pada masa pelaksanaan Pajak Bumi atau Pajak Hasil Bumi atau Pajak Tanah, Asuransi dan Perbankan. Sedangkan dalam hukum perdata, dagang serta waris penggunaan ilmu ini masih terasa hadir dengan istilah bila diperlukan. Hal ini ditandai dengan belum maraknya penggunaan nilai atas harta baik untuk harta tetap maupun harta bergerak yang dalam peralihan penguasaannya masih belum lazim untuk dinilai terlebih dulu.

 

Profesi atau keahlian penilaian belum nyata dan berdiri tegak dalam jajaran ilmu pengetahuan tetapi masih dikatagorikan sebagai art atau seni yang dalam penerapan dan penggunaannya adalah seni anggapan atau estimasi / perkiraan  atas suatu nilai harta. Sungguh sangat disayangkan bahwa ilmu ini kemudian tidak diterus-kembangkan pada masa itu karena dianggap tidak terlalu penting dan hanya merupakan pelengkap saja khususnya di Indonesia. Namun kemudian setelah tahun 1970-an baru ilmu penilaian dicoba untuk dipelajari kembali dengan antusias bahkan ditingkatkan secara ilmu, karena sangat dirasakan kebutuhannya bahkan dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan zaman baik dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun perniagaan.

 

            Di Luar Negeri ilmu penilaian atau appraisal/valuation study telah menjadi suatu cabang ilmu tersendiri yang terpisah dari disiplin ilmu yang lain. Keahlian menilai atas harta telah disadari merupakan suatu profesi atau suatu ilmu yang dipelajari dalam suatu jurusan ilmu yang diajarkan di fakultas atau universitas dengan kurikulum tersendiri. Kita lihat di Inggris atau Eropa, Amerika , Australia/ New Zealand, bahkan di Asia seperti Taiwan, Jepang, Korea dan Malaysia telah ada Fakultas jurusan penilaiannya dalam bidang studi yang dikembangkan di Universitas-universitas di Negara-negara tesebut.

 

            Di Indonesia perkembangan ilmu penilaian ini mulai berkembang ditandai dengan mulai maraknya perusahaan-perusahaan Penilai , dan lebih dikukuhkan lagi sekitar tahun 1976 untuk pertama kali didirikan suatu organisasi penilai yang disebut Asosiasi Penilai Indonesia atau disingkat dengan API. Kemudian setelah itu didirikan pula sebuah organisasi yang lebih menjurus pada pengukuhan diri yaitu Gabungan Profesi Penilai Indonesia atau disingkat  GAPINDO pada tahun 1979, yang kemudian pada tahun 1980 organisasi –organisasi tersebut meleburkan diri dalam suatu wadah yang disebut Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia (GAPPI) yaitu merupakan gabungan perusahaan-perusahaan dan profesi penilai di Indonesia. Disamping itu juga ada organisasi perorangan yang dibentuk dalam suatu wadah atau wahana berserikat dibidang profesi yaitu Masyarakat Profesi Penilai Indonesia atau disingkat MAPPI  yang juga berdiri tahun 1980. Hingga saat ini baru kita rasakan perkembangan kiprah profesi penilai ini di Indonesia dengan berkembang pesat yang pada tahun 1985 hingga  era tahun 1990-an mulai menyelenggarakan pendidikan-pendidikan Penilai jangka pendek berupa penataran-penataran, kursus-kursus dan seminar. Kemudian era tahun 1990-an hingga sekarang ( 1998) telah mulai menyelenggarakan program diploma penilai, bahkan Pendidikan Strata I maupun Strata II seiring dengan dikirimkannya putra-putri muda Indonesia ke Luar Negeri.

 

            Kemudian dari pada itu dengan terbentuknya pasar modal di Indonesia yang mendapat sambutan  baik dari kalangan dunia swasta dan perusahaan-perusahaan  besar untuk menjual sahamnya kepada masyarakat umum, maka Pemerintah menetapkan dengan persyaratan yang harus dipenuhi bila akan menjadi public company , perusahaan tadi harus melakukan penilaian kembali kekayaan perusahaannya melalui perusahaan penilai yang ditunjuk pemerintah.

 

Lahirnya Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan tahun 1985 Melalui UU No.12 tahun 1985 dan yang telah dirubah dengan UU No.12 tahun 1994 , juga merupakan pemicu kebangkitan profesi penilai dan pengembangan ilmu penilaian sehingga menjadi lebih bergairah dan berkembang seperti sekarang ini. Kemudian sangat terasa perkembangan kiprah profesi penilai di Indonesia dengan dilahirkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan No.57/KMK.017/1996 tentang Jasa Penilai, yang dalam ketentuannya memberikan penjelasan mengatur tentang apa dan bagaimana profesi Penilai dan pelayanan jasa penilai dilaksanakan di bumi Indonesia.

Definisi Nilai, harga dan Biaya.

Orang pada umumnya atau awam sering tidak dapat membedakan pengertian atau definisi atau perbedaan antara nilai dan harga, bahkan sering orang menganggap bahwa harga adalah nilai dan nilai adalah harga. Pengertian semacam ini telah meluas terdapat dikalangan awam atau masyarakat bahkan para pejabat pemerintahan atau para peniaga.

Sering juga terlempar suatu pertanyaan, apakah semua benda atau barang itu mempunyai nilai ?  Dalam ilmu penilaian kita semua tahu bahwa tidak semua benda atau  barang mempunyai nilai yang sama meskipun barangnya sama berada pada waktu tertentu disuatu tempat / ruang tertentu, untuk orang atau badan tertentu. Perlu dicatat bahwa sesuatu benda / properti baru mempunyai nilai, apabila memiliki beberapa ciri-ciri yang sangat menentukan ,yaitu :

  1. Kegunaan ( utility), suatu kemampuan untuk membangkitkan keinginan untuk  memiliki properti dimaksud karena diharapkan dapat memberikan keuntungan / bermanfaat.
  2. Kelangkaan (scarcity), jumlah atau persediaan yang terbatas.
  3. Permintaan (demand), adanya kebutuhan akan sesuatu benda / harta / properti.
  4. Dapat dialihkan (transferbility), hak penguasaannya dapat dipindah tangankan kepada Subjek lain.
  5. Dapat dinyatakan dalam bentuk sejumlah uang atau dibandingkan dengan barang berharga lainnya yang sepadan .        

Dalam pengertian di atas terdapat istilah  memiliki, yang dalam arti sehari-hari biasanya adalah hak penguasaan atas suatu benda / barang, namun dalam hal ini pengertiannya adalah tidak semata-mata selalu berarti pemilikan atau penguasaan secara phisik, tetapi dapat juga berarti pemilikan hak atas benda yang tak berujud dan objeknya dikelola oleh orang  / badan lain.

Pengertian manfaat atau daya guna adalah orang atau badan yang menguasai atau mengelola akan mendapat keuntungan atau pertambahan nilai ekonomis atau pulangan (return) atau hasil dari harta tersebut. Kemudian pengertian dapat dipindahtangankan , artinya bahwa sesuatu benda yang untuk sementara berada dalam penguasaan hak seseorang , dan kemudian pada suatu saat ada fihak lain atau orang lain yang mempunyai minat atau keinginan untuk memiliki / menguasai benda tersebut , maka apabila ada kesepakatan tertentu atau antara keduabelah pihak setuju , maka benda / barang tadi dapat dialihkan hak penguasaannya.

Disamping itu pengertian dalam jumlah terbatas , artinya bahwa untuk memperoleh  atau memliki benda / barang tersebut harus ada pengorbanan atau imbalan tertentu atau pengganti dalam sejumlah uang / harga dan daya tertentu.

Nilai mempunyai beberapa definisi dan pengertian yang tergantung pada tujuan dan penggunaan nilai, dan harus selalu dibedakan terhadap biaya (cost), dan harga (price). Secara umum nilai dapat diartikan sebagai suatu perkiraan  atau penghargaan terhadap sesuatu barang / benda atau objek. Dalam penilaian terhadap suatu harta tetap atau property, nilai selalu dinyatakan dalam satuan uang atau monotary unit, yang  dapat dihitung dengan sejumlah uang yang ditetapkan dalam sebuah harga  atau dihargai (worth) sama dengan harta tetap atau barang yang dimiliki oleh seseorang yang dinilai tersebut, dengan harapan dapat memberikan keuntungan dalam jumlah tertentu.

Harga adalah : Sejumlah uang yang disepakati atau terjadi karena suatu transaksi atau pertukaran dengansuatu barang yang terjadi di pasar antara penjual dan pembeli mempunyai pengetahuan yang layak mengenai fakta yang relevan dan tidak dibawah pengaruh ( tidak ada hubungan khusus) , tekanan atau paksaan, dan terjadi secara wajar. Berdasarkan pengertian di atas kita melihat bahwa harga adalah kesepakatan, persetujuan atas kerelaan dalam penyerahan barang dan digantikan dengan menerima sejumlah uang tanpa paksaan atau tekanan.

Biaya adalah : Sejumlah uang yang dikeluarkan dalam pembuatan atau pembangunan suatu  property atau harta tetap.

Dalam suatu penilaian seorang penilai akan mencari berapa sebenarnya nilai dari harta tetap tersebut, yang dalam beberapa hal sifat-sifat membatasi pengertian dasar nilai adalah adanya perbedaan penafsiran dalam jumlah nilai uang untuk suatu harta tetap yang sama.  Nilai bukanlah karakter dari suatu property , namun lebih banyak ditentukan oleh kehendak manusia dan bersifat subjektif sesuai dengan ruang dan waktu sebagaimana kehendak manusia itu sendiri. Untuk mengetahui perbedaan antara nilai , harga dan / atau biaya, baiklah kami sajikan contoh sebagai berikut:

  • Seorang karyawan dahulu berdiam dalam rumah pribadi dan bekerja di kota Semarang sebagai karyawan. Kemudian ia dipindahkan ke kota Jakarta dalam jabatan yang sederajat. Karena terpaksa atau dipaksa oleh perusahaan dan dengan pertimbangan bahwa dikota Semarang telah tidak ada lagi keluarga atau sanak familinya, rumah yang selama ini didiami dan dinikmati dijual dengan harga rata-rata tanpa dapat meningkatkan harga untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, karena paksaan keadaan  dan waktu yang mendesak harga jelas tidak dapat lebih tinggi dari harga rata-rata bahkan cenderung lebih murah. Maka bila diamati bagi karyawan tersebut nilai rumah yang dijual tadi mempunyai nilai yang lebih tinggi dari harga transaksi apabila ia masih bertugas di kota Semarang.
  • Dua bangunan toko dibangun bersamaan dengan bentuk , arkitektur dan kelengkapan dan komponen yang sama, namun lokasi yang berbeda yaitu yang satu berada ditengah kota dan yang satunya lagi dibangun dipinggir kota. Meskipun kedua bangunan tadi menghabiskan biaya yang sama, atau harga per-unit / satuan bangunan dalam jumlah rupiah yang dikeluarkan juga sama, tetapi nilai bangunan tersebut lebih tinggi / besar yang berada ditengah kota karena mempunyai kelebihan ekonomis yang lebih besar bila dibandingkan dengan harta tetap yang dibangun diluar kota tersebut.

Dari contoh tersebut di atas dapatlah kita simpulkan harga itu adalah nilai , tetapi nilai belum tentu harga , dan apabila dirumuskan  adalah : Harga  =  ( Biaya + / – Kepentingan ) dan Pasar. Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi Nilai, antara lain adalah :

  1. Faktor Politik. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah kejadian atau peristiwa politik yang berpengaruh langsung atau tak langsung dan mengakibatkan  perubahan pada nilai. Satu hal yang tercakup di dalam masalah ini adalah kebijaksanaan pemerintah atau policy yang diterapkan dan dituangkan dalam perumusan keputusan Pemerintah / Pemerintah Daerah , misalnya peruntukan / zoning untuk wilayah tertentu yang hanya boleh dibangun untuk bisnis area, Daerah sabuk hijau, perumahan , perkantoran dan lain-lain.
  2. Faktor Ekonomi. Perubahan atau keadaan yang diakibatkan oleh adanya pertambahan atau pengurangan income perkapita, bunga bank / deposito, naik atau turunnya harga bahan pokok produksi atau minyak , naik / turunnya nilai tukar uang , yang terjadi di Masyarakat.
  3. Faktor sosial. Perubahan sosial yang terjadi dalam Masyarakat karena Pola hidup yang berubah, Pertumbuhan penduduk, Migrasi dan atau trgansmigrasi, Pendidikan dan pengetahuan masyarakat dan lain-lain.
  4. Faktor Alam. Perubahan lingkungan atau alam karena bencana alam , erosi atau mungkin juga suatu wilayah yang dulu subur karena terlalu dieksploitasi dan sekarang menjadi tandus bahkan mungkin menjadi hancur.

Jenis dan Tujuan nilai.

Ada beberapa jenis nilai dan juga dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang berbeda, misalnya seperti berikut :

  1. Nilai Modal (Capital Value), adalah niali yang ditetapkan untuk mendapatkan hak milik dari suatu properti.
  2. Nilai Pasar Wajar (Fair Market Value), Nilai yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar di Pasar.
  3. Nilai Sewa (Rental Value), Nilai yang ditetapkan untuk mendapatkan hak  menggunakan harta dalam jangka waktu tertentu dan lokasi / tempat tertentu.
  4. Nilai Penjualan (Sale Value), Nilai yang ditetapkan oleh penjual dalam menawarkan harga properti.
  5. Nilai Potensi (Potential Value), adalah nilai yang didasarkan pada potensi Pendapatan sebagai pulangan yang dimiliki oleh properti tersebut  pada masa yang akan datang.
  6. Nilai Sisa (Scrab Value), nilai rongsokan atau nilai barang dihitung diluar fungsi properti tersebut, misalnya mesin yang telah tidak berfungsi / rusak total dinilai sebagai besi tua.
  7. Disamping itu masih ada lagi Nilai Pajak, Nilai Buku, Nilai Jual Objek Pajak , Nilai asuransi dan lain-lain.

Sedangkan nilai dipergunakan untuk tujuan atau maksud sebagai berikut :

  1. Transfer kepemilikan.
  2. Keuangan dan Perkreditan / perbankan.
  3. Gantirugi dan kompensasi.
  4. Perpajakan .
  5. Konsultasi dan investasi.

Prinsip-prinsip Penilaian.

Penilaian merupakan proses kegiatan baik secara perseorangan maupun bersama-sama antara dua orang atau lebih dengan Penguasa / Pemilik  harta disamping ilmu pengetahuan penilaian, maksud / tujuan dan pengetahuan yang luas tentang objek yang dinilai. Untuk itu penilai perlu mengetahui Prinsip-prinsip Dasar Penilaian sebagai pedoman agar hasil yanh dicapai optimal. Ada beberapa Prinsip Penilaian , antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Prinsip Tertinggi dan Penggunaan terbaik (Principle of Highest and Best Used). Penggunaan tertinggi dan terbaik atas manfaat objek yang dinilai merupakan perhatian yang utama  pada properti dan dipergunakan secara optimal.
  2. Prinsip Subtitusi/ Penggantian (Priciple of Substitution) .Nilai suatu barang atu properti tidak akan dapat melampaui nilai properti pengganti yang diterima bila properti tersebut tersedia. Prinsip ini menganggap bahwa seseorang hanya bersedia membayar sejumlah uang untuk sebuah properti dengan nilai tidak lebih dari nilai properti pengganti.
  3. Prinsip  Kesesuaian  (Principle of Comformity). Kesesuaian beberapa faktor yang mempengaruhi nilai properti sangat menentukan dalam proses penilaian. Misalnya sebuah rumah mewah yang dibangun di lokasi / wilayah kumuh atau dekat pembuangan limbah akan mengakibatkan nilainya menjadi turun atau lebih rendah bila dibangun di daerah yang  representatif / lebih baik ( sesuai dengan semestinya ).
  4. Prinsip antisipasi (Principle of Anticipation). Yaitu prinsip keuntungan yang diharapkan dari properti, disini nilai adalah harapan akan keuntungan dimasa yang akan datang atas penggunaan dan manfaatnya.
  5. Prinsip Penawaran dan Permintaan (Principle of Suply and Demand). Nilai suatu properti ditentukan oleh adanya interaksi antara dua unsur kekuatan  yaitu persediaan dan permintaan yang terjadi di Pasar bebas pada saat penilaian dilaksanakan.
  6. Prinsip Keseimbangan (Principle of Balance). Prinsip kseimbangan ini  menilai harta dengan berdasarkan asumsi bahwa nilai akan maximum bila faktor-faktor produksi harta tersebut dalam keadaan seimbang.
  7. Prinsip Perubahan (Principle of Change). Nilai suatu harta cepat atau lambat akan selalu berubah sesuai dengan hukum alam .
  8. Prinsip Persaingan (Principle of Competition). Dalam dunia yang penuh persaingan Nilai properti cenderung menyesuaikan diri dengan sifat persaingan properti di Pasar. Misalnya keuntungan yang berlebihan akan mendorong peningkatan persaingan  yang pada gilirannya akan meningkatkan penawaran dan akibatnya harga akan turun karena permintaan tetap.
  9. Prinsip Penambahan dan Pengurangan (Principle of Increasing and Decreasing  Returns atau  Law of Diminising Returns). Prinsip penambahan dan pengurangan ini berasumsi bahwa penambahan biaya pada suatu properti belum tentu akan menambah penghasilan / return / pulangan.
  10. Prinsip Penggunaan yang Tetap (Principle of  Consistens Use) . Properti seharusnya dinilai berdasarkan penggunaan yang tetap / tidak berubah sesuai dengan penggunaan atau fungsinya.

Metoda atau Pendekatan Nilai.

Harta atau aset bagi Orang, Badan / Perusahaan, maupun Pemerintah merupakan  suatu masalah yang multikompleks, karena keterkaitannya dengan perkembangan-perkembangan ekonomi, sosial, lingkungan , tehnik, kebijaksanaan dan hukum. Dari hal-hal tersebut maka konsep-konsep penilaian telah digariskan dengan dasar-dasar sebagai berikut :

  1. Identifikasi masalah, dilaksanakan dengan melakukan kegiatan-kegiatan pendataan, penyelidikan dan penalaran;
  2. Kemampuan peramalan / estimasi atas pulangan, dan nilai ;
  3. Estimasi biaya :
    1. Produksi Harta dalam keadaan baru, yang biasa merupakan  penghitungan atau  estimasi  atas  produksi harta dengan  cara merakit unsur-unsur, pabrikasi, konstruksi, dan atau pertumbuhan zat hidup.
    2. Penggantian  harta / properti  yang  ada  dengan  cara membeli atau memproduksi harta yang setara.
    3. Reproduksi harta yang ada dengan cara membeli atau memproduksi harta yang identik.
  4. Penentuan harapan dan keuntungan atau ciri-ciri non moneter yang membantu nilai, memberikan pertimbangan tentang umur, sisa umur manfaat, kondisi, mutu, atau keaslian fisik harta, jumlah  sumber alam, kependudukan, pasar, dan lain-lain yang terkait.

Dalam penilaian pengertian data adalah sesuatu yang dianggap benar. Apabila data tersebut dikaitkan dengan peneilaian maka data property adalah merupakan bahan mentah yang dapat dipakai sebagai bahan yang akan diolah atau dianalisis sehingga menghasilkan informasi. Informasi inilah yang nantinya akan dapat memberikan gambaran atau pandangan sebagai pembanding atas property yang lain. Data ini dapat berupa sesuatu yang berkaitan dengan tanah ataupun bangunan, berupa bentuk objek, ukuran, harkat, letak / lokasi, kondisi, bahkan harga jual atau nilai dan lain-lain sebagainya. Data digunakan untuk :

  1. Dasar untuk menentukan Nilai Pasar. Nilai Properti yang akan ditentukan agar dapat sesuai dengan nilai pasar  maka perlu nilai data pasar property yang sejenis. Supaya akurat maka data nilai dikumpulkan sebanyak mungkin termasuk nilai sewa, nilai pasar servis charge.
  2. Dasar perhitungan bermacam-macam metoda penilaian . Antara lain adalah tingkat hunian, tingkat kekosongan, besarnya % biaya operasional, besarnya angka pemasaran, penjualan property, tingkat kapitalisasi  dll.
  3. Dasar peramalan dimasa yang akan datang. Misalnya : Peramalan penjualan property, Peramalan nilai sewa, dan besarnya laba atau kerugian yang akan terjadi.

Dalam penilaian dan peramalan atas harta, ditujukan untuk mendapatkan estimasi pulangan / return atau hasil yang diharapkan dari harta yang dimiliki baik berujud maupun tak berujud.

Nilai adalah kesimpulan akhir dari proses penilaian yang diadakan dengan tujuan yang berbeda-beda dan dilakukan oleh orang yang berbeda pula. Namun harus disadari bahwa pelaksanaannya harus dilakukan secara teknis sehingga merupakan penaksiran dan pendapat yang sehat atau wajar, berdasarkan fakta yang objektif , dan keyakinan dalam waktu dan relevansi yang otentik. Berbicara tentang tehnik penilaian maka meskipun banyak teori penilaian biasanya  yang lazim dilakukan ada tiga pendekatan atau metode penilaian yang terkenal sebagai berikut:

  1. Pendekatan Data Pasar (The Market Estimate atau Market Data Approach) ;
  2. Pendekatan Biaya (The Physical Estimate, atau Cost Approach, Summation Approach);
  3. Pendekatan Pendapatan (The Economic Estimate, Economic Approach atau Income Approach ).

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat dipergunakan secara bersama-sama, tetapi juga dapat dipergunakan hanya satu atau dua pendekatan saja tergantung kepada data dan kondisi serta harta yang akan dinilai dan juga tujuannya. Namun demikian biasanya yang sering dipergunakan adalah tiga pendekatan tersebut.

Pendekatan Data Pasar (The Market Estimate / Market Data Approach ) .

Metoda / pendekatan data pasar adalah suatu metoda untuk memperkirakan nilai pasar dari suatu properti berdasarkan harga jual properti lain yang serupa yang telah diketahui nilai jualnya dengan cara membandingkan properti tersebut. Metoda seperti ini sesungguhnya telah pernah dipergunakan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda dulu, saat menilai atau mengklasir (memberikan kelas atas sawah atau tanah dengan cara membanding-bandingkan ) hasil umum sawah percobaan yang dikaitkan dengan perbandingan harga / nilai atas suatu harta berupa sawah atau tanah darat/kering atau pekarangan dengan suatu harta yang lain yang telah diketahui nilai / harganya / hasilnya. Beberapa Prinsip pendekatan yang sering digunakan Metode Pendekatan Data Pasar adalah :

  1. Prinsip penilaian yang menggunakan dasar pemikiran dengan pendekatan prinsip supply and demand , yaitu suatu prinsip yang mendasarkan penilaian harta ditentukan oleh keadaan pasar, yang selalu merupakan kesepakatan antara penjual dan pembeli yang masing-masing mempunyai pengetahuan yang berkelayakan.
  2. Prinsip Keseimbangan yang merupakan kelanjutan dari prinsip supply and demand, bahwa permintaan dan penawaran akan selalu saling mengimbangi, isi mengisi dan bergerak / bergeser menuju keseimbangan antara permintaan dan penawaran.
  3. Prinsip Substitution, yang mengatakan bahwa harta nialinya selalu ditentukan  berdasarkan sejumlah uang yang dipergunakan untuk memperoleh harta pengganti yang sebanding sebagaimana daya guna, harapan keuntungan, manfaat dan fungsi atas harta.

Property yang dinilai harus sebanding , maka Formula adalah sebagai berikut = Nilai indikasi Property =  Harga Jual Property + penyesuaian / adjusment. Pendekatan ini dalam penentuan PBB P2 digunakan untuk menentukan NJOP tanah.

Pendekatan Biaya   (Economic Estimate / Cost Approach)

Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan yang dilaksanakan dengan teknik atau metode pendekatan memperkirakan atau menginterpretasikan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan,  menghasilkan, atau membangun harta pada masa / waktu sekarang dalam keadaan baru dan dikurangi dengan keausan, penyusutan atau deprisiasi harta, dan kemudian ditambah dengan perkiraan nilai tanah. Pendekatan biaya pada umumnya dapat dijelaskan dengan pengertian sebagai berikut :

  1. Merupakan taksiran atau interpretasi reproduksi harta dalam keadaan  baru  atau  ada  pula yang   mengatakan  nilai ganti yang merupakan biaya pengganti dari bangunan dan sarana  pelengkapnya.
  2. Perkiraan penyusutan , keausan dari harta selama dipergunakan / dipakai / didayagunakan sampai dengan saat dinilai.
  3. Kemudian ditambah dengan nilai tanah .

Sesungguhnya bila kita teliti lebih lanjut tentang pengertian-pengertian di atas maka ada sedikit perbedaan namun sangat menyentuh arti dari istilah nilai. Meskipun arti nilai reproduksi baru dan nilai ganti mempunyai maksud yang sama sebagai nilai baru berdasarkan harga produksi yang berlaku sekarang, namun nilai reproduksi baru adalah jumlah uang yang dikeluarkan / dibayarkan untuk memperoleh sesuatu unit bangunan baru yang persis sama baik mengenai material, kualitas, bentuk, ukuran , design, konstruksi, maupun fungsi dan kapasitasnya berdasarkan harga yang berlaku saat ini.

            Sedangkan nilai ganti adalah jumlah uang yang dikeluarkan / dibayarkan untuk membangun atau memperoleh sesuatu unit baru seperti yang dikehendaki dengan fungsi dan kapasitas sama, meskipun bentuk, material / bahan, ukuran berbeda dari harta yang asli dan atau diperbaiki. Pendekatan biaya dapat dilaksanakan melalui lima langkah dasar pelaksanaan , yaitu :

  1. Penilaian tanah dalam keadaan kosong, dengan menggunakan pendekatan  Data Pasar.
  2. Interpretasi / perkiraan nilai ganti atau reproduksi baru atas perbaikan atau pembangunan yang berlaku saat ini.
  3. Penentuan perhitungan penyusutan / depresiasi yang terjadi selama umur bangunan.
  4. Tentukan Nilai Indikasi bangunan dengan cara mengurangkan perkiraan nilai ganti / reproduksi baru dengan keausan / penyusutan bangunan .
  5. Kemudian untuk mendapatkan Nilai Objek / harta yang dinilai didapat dengan menambahkan Nilai indikasi Bangunan dengan Nilai indikasi tanah .

            Metoda yang lazim dipergunakan untuk menetapkan nilai reproduksi baru / nilai ganti adalah Metode Kalkulasi Biaya (Cost Approach). Metode ini menghitung nilai property (T&B) dengan menganggap Tanah sebagai tanah kosong, nilai tanah dihitung dengan menggunakan Metode perbandingan data pasar. Nilai Bangunan dihitung dengan menggunakan metode kalkulasi biaya . Nilai pasar bangunan diperoleh dengan mengasumsikan biaya pembangunan/penggantian baru kemudian dikurangi dengan penyusutan pada saat penilaian. Rumus : Nilai Properti = Nilai Tanah + (Nilai Bangunan Baru – Penyusutan).

Menghitung biaya Kalkulasi ada dua cara :

  1. Biaya Langsung Yaitu Biaya yang langsung berhubungan dengan bangunan seperti biaya upah buruh dan biaya material komponen bangunan yang berhubungan dengan bangunan, biaya overhead kontraktor, keuntungan kontraktor, biaya professional lainnya yang terkait untuk pembangunan seperti arkitek, konstruktor, surveyor, dan lainnya.
  2. Biaya Tidak Langsung yaitu Biaya atau uang yang tidak terkait langsung dengan fisik konstruksi, tetapi diperlukan dalam biaya pembangunan property. Biaya tidak langsung termasuk bunga selama masa konstruksi,pajak, biaya ahli hukum  terkait, akuntan, Penilai dan lain-lainnya yang diperlukan. Semua biaya ini harus diperhitungkan tergantung jenis bangunannya.

Untuk menghitung Biaya penggantian baru pada metode Kalkulasi Biaya ada empat macam metode yang dikenal, Yaitu :

a)        Metoda Penelitian Jumlah Atau Metode Survey Kuantitas/Quantity Survey Method. Metoda ini menggunakan taksiran terperinci atas harga semua komponen material yang persis sama dengan yang dipakai sebagai bahan untuk membangun harta tersebut oleh produse / Pembina / Pembangun harta dan kemudian dijumlahkan . Menghitung dengan cara ini jarang digunakan oleh penilai karena memerlukan waktu yang relatif lebih banyak / panjang dan membutuhkan pengetahuan teknik yang khusus misalnya arkitetur atau sipil bangunan.

b)       Metoda Unit Terpasang / di Tempat atau Unit in Place Method. Metoda ini menggunakan biaya / jumlah harga atas bermacam material / bahan bangunan yang terpasang pada bangunan atau harta yang terdiri dari Fondasi , dinding, kerangka, kolom , atap, lantai dan lain-lain dan kemudian di jumlahkan.Unsur-unsur ini dihargai sebagai unit terpasang termasuk diantaranya adalah bahan dan tenaga kerja atau upah pengerjaan untuk mendirikan bangunan.

c)        Metoda Meter Persegi. Metoda ini didasarkan pada perhitungan biaya-biaya per unit yang diketahui atau ditetapkan yang berasal dari perbandingan harta yang ada dalam penentuan biaya per m2 setiap jenis pekerjaan bangunan , yang kemudian di adjust atau disesuaikan antara harta yang dinilai dengan harta pembanding bila ternyata terdapat perbedaan perbandingan. Misalnya untuk membuat fondasi gedung seperti contoh gedung pembanding itu diperlukan perhitungan per m2-nya dikeluarkan biaya berapa rupiah dan kemudian diperhitungkan seluruh fondasi berapa luasnya atau jumlah keseluruhan fondasi dari gedung. Metoda ini dapat juga disebut sebagai metoda meter kubik  dan biasanya merupakan koreksi / perbaikan atas metoda unit terpasang, dan disamping itu data atau informasi dapat dikumpulkan dari para kontraktor dan buku petunjuk biaya yang disusun oleh Instansi tertentu atau penjual bahan bangunan atau Perusahaan Pembangun/ Pengembang , misalnya seperti Departemen Pekerjaan Umum, Dinas Tata Bangunan dan Tata Kota, Pajak Bumi dan Bangunan , Perusahaan Real Estate , Perum Perumnas dan lain-lain. Metoda ini sering juga disebut sebagai  metoda perbandingan atau comparative method.

d)       Metode Indeks Biaya / Index Method . Metoda ini digunakan untuk menyesuaikan biaya pengganti baru bangunan pada saat ini dengan mendasarkan pada biaya pengganti baru bangunan pada saat baru dibangun. Biaya ini dapat naik atau turun tergantung pada besar kecilnya indekspada saat ini. Caranya dengan menghitung indeks biaya saat ini dengan indeks biaya masa lampau / indeks biaya saat dibangun  

Dari ke empat metoda tersebut di atas maka metoda survey kuatitas memberikan perhitungan  biaya yang paling teliti.

Disamping beberapa hal tersebut di atas dalam melaksanakan pendekatan biaya masih ada faktor Penyusutan / Keausan / Depresiasi sebagai akibat penggunaan, pemakaian dan pendayagunaan harta yang harus diperhitungkan, yaitu :

  1. Penyusutan atau kemerosotan fisik (Physical Deterioration). Artinya adalah suatu kerugian , kehilangan nilai yang diakibatkan oleh kemerosotan , kerusakan, keretakan , kemunduran  badan / fisik harta baik yang nampak ataupun tidak nampak sehingga ujud , struktur, dan elemen yang ada menjadi menurun nilainya / harganya
  2. Penyusutan atau keausan Fungsional (Functional Obsolesence). Suatu kerugian atau kehilangan yang melekat pada harta sebagai akibat dari tidak berfungsi atau rusaknya mekanisme alat atau perlengkapan atau tujuan bangunan, sehingga tidak dapat memenuhi tujuan , kenyamanan dan keselamatan pengguna harta tetap. Misalnya, lift / escalator rusak, Air condition tidak dingin atau rusak pada hal konstruksi bangunan di design tanpa ventilasi, pintu sering macet tidak dapat dibuka, cendela tidak dapat ditutup dengan benar engsel telah lepas / kayu mengembang , dan lain-lain.
  3. Penyusutan Ekonomi (Economic Obsolesence). Suatu kerugian atau kehilangan nilai yang diakibatkan oleh karena keuatan-kekuatan di luar harta kekayaan dan menyangkut faktor-faktor ekonomi / moneter atau lingkungan masyarakat.  Hal itu terjadi misalnya karena perubahan peraturan pemerintah / zoning, perubahan nilai mata uang sebagai akibat krisis moneter, dan lain-lain.

Dengan demikian maka dapatlah dikatakan bahwa penyusutan fisik dan fungsional adalah keausan yang disebabkan faktor internal, sedangkan penyusutan ekonomi adalah keausan yang disebabkan faktor eksternal, dan perlu diketahui bahwa macam dan luasnya penyusutan diperhitungkan / ditentukan dengan melalui pertimbangan pengamatan yang sangat hati-hati.

            Dari pebahasan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menilai bangunan memerlukan pengamatan yang lebih saksama, khususnya bila untuk menilai bangunan yang bertingkat banyak, konstruksi , fondasi dan hitungan setiap lapisan lantai, serta jenis penggunaan, interior / eksterior haruslah diperhitungkan.

 

Penerapan pendekatan biaya ini dapat disimpulkan terdiri dari beberapa langkah :

  1. Menentukan Nilai Tanah dengan menggunakan pendekatan Data Pasar.
  2. Menentukan biaya pembangunan baru (cost reproduction New ) harta / Objek.
  3. Memperkirakan atau menghitung deprisiasi / penyusutan harta atau bangunan melalui salah satu metode yang telah diketahui.
  4. Mengurangi biaya pembangunan baru ( cost reproduction New ) harta dengan penyusutan , sehingga dapat ditemukan Nilai Indikasi objek / harta.

Pendekatan Pendapatan (Income Approach)

            Pendekatan Pendapatan ini merupakan suatu teknik penilaian yang menghitung atau memperkirakan pendapatan bersih diproses / dianalisis berdasarkan jumlah modal investasi yang menghasilkan pendapatan / penghasilan / pulangan dari jumlah modal tersebut. Jumlah modal disini disebut sebagai NILAI KAPITALISASI, yang pada hakekatnya adalah sejumlah antisipasi pendapatan tahunan , dikurangi beban / biaya / bunga / gaji atau pengeluaran pertahun, dan dirupakan dalam % (prosetase) secara matematis sebagai nilai kapitalisasinya.

            Pada dasarnya prosedure penilaian yang ditempuh melalui metode pendekatan pendapatan adalah memproyeksikan pendapatan yang diperhitungkan dapat dihasilkan oleh suatu harta kekayaan dimasa mendatang kedalam saat ini. Metode ini dalam penerapannya memerlukan suatu kondisi seperti dibawah ini :

  1. Kewajaran atas penghasilan / pendapatan sebagai taksiran dari antisipasi pendapatan       bersih.
  2. Waktu atau saat yang menentukan tentang penghasilan bersih biasanya dipergunakan umur ekonomis ( Economic Life ) dari harta.
  3. Tingkat Kapitalisasi yang dirupakan dengan %.
  4. Konversi pendapatan terhadap Modal.

            Dasar Utama yang dianut dalam pendekatan ini adalah hubungan antara nilai harta tetap dengan pendapatan yang dihasilkan sebagai pulangan dari harta yang didayagunakan / dilola tersebut. Formula / rumus yang dapat dinyatakan adalah : Nilai = Pendapatan bersih (I) dibagi Angka Kapitalisasi (R).

Agar lebih mudah maka kami ingin menggambarkan sebagai berikut ini. Apabila seseorang melakukan investasi dengan mendepositokan uang pada salah satu Bank , maka orang tersebut akan menerima pendapatan setiap tahun berupa bunga. Berdasrkan pola pikir ini maka dibalik, yaitu bunga yang diterima setiap tahun / bulan tadi dianggap sebagai pendapatan bersih setiap tahun / bulan dari hasil modal / kapital / investasi yang ditanamkan dan % bunga yang ditetapkan oleh Bank tersebut dianggap sebagai angka kapitalisasi.

Langkah-langkah Pelaksanaan :

  1. Menentukan antisipasi pendapatan kotor tahunan. Penilai setelah melakukan pengamatan tentang persiapan yang harus dilaksanakan, maka langkah awal mengumpulkan dan mencatat semua harga sewa atau hasil dan prosentase tarif penempatan (occupancy rate) dari harta yang dinilai untuk menghitung  penghasilan kotor yang diharapkan dapat dihasilkan. Pendapatan ini merupakan penghasilan secara keseluruhan dalam jangka waktu tertentu setahun atas harta. Pendapatan kotor sebuah Properti / Bangunan tak hanya penghasilan yang berupa sewa atau hasil gedung itu saja , tetapi juga merupakan penghasilan ikutan berupa sewa parkir, ruangan yang disewa untuk restoran, sewa kios, penyewaan photo-copy, rekreasi, sewa telepon dan lai-lain. Perlu diperhatikan bahwa pendapatan kotor ini pada masing-masing jenis properti mempunyai spesifikasi tersendiri misalnya untuk Mall/Shoppingcentre, Hotel, Perkantoran atau lapangan Golf, jumlah penghasilan / pendapatan serta macamnya sangatlah bervariasi/ berbeda.
  2. Menaksir kemungkinan kerugian sewa tahunan karena kekosongan /kegagalan dan kemudian mengurangkannya dari pendapatan kotor sehingga di dapat penghasilan kotor efektif . Perhitungan ini merupakan konsekwensi logis dari suatu gedung persewaan baik berupa perhotelan , perkantoran, ruangan toko / mall, dalam waktu tertentu pasti ada masa sela tidak laku untuk disewakan, hotel tidak ada tamu dan lain-lain , kekosongan ( void ) ini juga diperhitungkan pula sebagai sewa yang tidak tertagih. Sebagai kebalikan dari tingkat kekosongan ini adalah faktor hunian ( Occupancy Rate ) yaitu seberapa banyak kamar / ruangan yang tersewakan atau laku / terisi.

Untuk menentukan tingkat kekosongan dan sewa yang tak terbayar, perlu diteliti dengan pertimbangan sebagai berikut :

  1. Tingkat kekosongan atau sewa yang tak terbayar yang sesungguhnya perlu dihitung dengan data yang akurat baik masa kini maupun diwaktu yang telah lewat.
  2. Dibandingkan kondisinya dengan properti sejenis yang disewakan / didayagunakan yang terletak dalam radius lokasi yang sama.
  3. Peramalan / proyeksi atas estimasi situasi dan kondisi sosial, ekonomi, perkembangan penduduk, di masa mendatang.
  4. Tingkat pendapatan dan ekonomi rata-rata masyarakat dan kaum pendatang dari wilayah sekitar.
  5. Masa sewa yang menyangkut tentang lama dan kondisi sewa.
  6. Menetapkan biaya / pengeluaran operasi pertahun dan mengurangkannya dari  pendapatan kotor efektif . Biaya operasi ini meliputi seluruh pengeluaran atas barang dan jasa  yang dipergunakan /dikonsumsi dalam kegiatan memperoleh atau dipergunakan untuk memelihara harta agar mendatangkan sewa. Sebagai contoh dari biaya operasional adalah :
    1. Biaya Variabel. Adalah biaya yang  besarnya bervariasi tergantung pada tingkat kegiatan operasi usaha. Misalnya gaji, bahan bakar kendaraan, listrik, air dll.
    2. Biaya Teta[. Biaya yang punya besaran tetap, tak tergantung pada tingkatan kegiatan operasi usaha, misalnya seperti Pajak Bumi dan Bangunan, premi asuransi dan lain-lain.
    3. Biaya Cadangan Penggantian. Biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan atau penggantian dan perawatan gedung dan perlengkapannya karena umur ekonomis relatif singkat, misalnya karpet, air-condition, pemanas air dll.
    4. Memilih proses kapitalisasi atas investasi harta yaitu berupa prosentase pengembalian / return / pulangan setiap tahun yang ditanam dan diharapkan dapat menghasilkan .Dalam hal ini bila sudah diketahui / ditentukan besarnya % nilai kapitalisasi maka tinggal mengalikan dengan pendapatan bersih per tahun.

            Dari hal-hal tersebut di atas  maka sesungguhnya tatacara penilaian dengan mempergunakan pendekatan pendapatan / penghasilan ini dapat disimpulkan sebagai berikut  :

  1. Proses penentuan Pendapatan / Pulangan / Penghasilan bersih;
  2. Proses Kapitalisasi.

Kab. Merangin Sudah Siap Mengelola PBB P2

Baru sekitar satu bulan saya meninggalkan bumi jambi Alhamdulillah satu lagi daerah percontohan yang memang kami siapkan ditahun 2012 ini sudah siap dari segi SDM dan IT untuk mengelola PBB P2 menyusul Kab. Muaro Jambi yang sudah terlebih dulu.
Salah satu kunci keberhasilan pendaerahan adalah apabila daerah sudah bisa secara mandiri melakulan cetak masal SPPT PBB nya. Untuk itu dukungan IT dan kesiapan SDM menjadi salah dua faktor penentu.

Kesiapan SDM di lingkungan prov. Jambi sangat disupport oleh DPKA provinsi yang dengan aktif mengkoordinasikan bimtek yang terkonsentrasi untuk 11 kab/kota nya. Sedangkan kesiapan IT sangat disupport oleh kemauan dan keberanian pemda utk belajar dan berkordinasi dengan pempus dalam hal ini KPP Pratama Bangko dan Kanwilnya. Disamping itu faktor keberhasilan daerah contoh juga memegang peranan penting.
Selamat untuk teman-teman pemda Kab. Merangin semoga cetak massalnya berjalan lancar.
**** server Sismiop PBB P2

image

**** test hasil cetakan SPPT

image

**** petugas demo cetak SPPT

image

SISMIOP: Sang Sistem Pengelola Administrasi Data PBB P2

Mengelola PBB P2 tidak akan lepas dari aspek pelayanannya. Sedangkan aspek pelayanan tidak akan lepas dari beberapa penetapan kebijakan dengan tujuan mempermudah Wajib Pajak melaksanakan kewajibannya sehingga kepatuhan dapat dimaksimalkan dengan segala kemudahan yang diberikan, dan pada akhirnya target penerimaan tercapai. Kebijakan itu antara lain adalah penetapan sistem pemungutan yang proaktif dan kooperatif melakukan penghitungan, penetapan pajak terutang dan  mendistribusikan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang diisi oleh Wajib Pajak atau verifikasi pihak fiskus di lapangan. Pemerintah Daerah melalui Kelurahan/Desa bahkan mendistribusikan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) sampai ketangan Wajib Pajak dan juga menerima pembayarannya. Kebijakan lain yang perlu diperhatikan adalah dalam hal penyetoran pajak terutang. Selain dapat melalui petugas pemungut kelurahan/desa, juga kedepannya dapat dilakukan di Bank yang menyelaggarakan e-payment seperti halnya ATM dan internet banking.
Untuk meningkatkan dan mengoptimalkan penerimaan PBB P2, Pemda perlu juga tetap menerapkan sistem administrasi perpajakan modern yang selama ini telah digunakan oleh pemerntah pusat yaitu yang disebut dengan Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP). Dengan tetap menggunakan SISMIOP yang telah didukung dengan teknologi komputerisasi maka diharapkan dapat menunjang peningkatan penerimaan PBB P2 yang nantiny akan dikelola pleh Pemda. SISMIOP merupakan jantungnya PBB P2 karena SISMIOP mengintegrasikan seluruh aspek pengelolaan administratif yang dapat mengolah informasi data objek dan  subjek pajak melalui komputerasi, mulai dari proses pendataan, penilaian, penagihan, penerimaan dan pelayanan. Proses perhitungan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan terhutang yang dihitung oleh Fiskus diakomodir dengan SISMIOP yang dapat mengolah informasi data objek dan subjek pajak secara terorganisir dengan baik melalui proses komputerasi, sehingga diharapkan dapat menunjang peningkatan penerimaan. Apa saja yang akan diserahkan oleh Pemerintah Pusat ke Pemda sehubungan dengan pendaerahan PBB P2 ini ?
  1. Basis data PBB P2,
  2. Aplikasi SISMIOP,
  3. Soft copy peta.
Dalam proses pengalihan PBB P2 nanti Pemda perlu memahami bahwa tidak semua perangkat pendukung SISMIOP akan diserahkan. Pemda perlu menginvestasikan beberapa perangkat IT agar SISMIOP tersebut dapat berjalan dengan baik. Pemerintah pusat hanya akan memberikan beberapa soft ware seperti pada gambar berikut ini sisanya Pemda mesti mengadakannya sendiri.
Adapun spesifikasi dan jumlah minimal perangkat IT yang harus diadakan oleh Pemda sendiri adalah sebagai berikut ini.
Kegiatan pendaftaran, pendataan dan penilaian dan subjek PBB P2 yang  up to date dengan mengintegrasikan semua aktivitas administrasi ke dalam satu wadah SISMIOP, diharapkan pelaksanaannya dapat lebih seragam, sederhana, cepat, dan efisien. Dengan demikian akan dapat tercipta pengenaan pajak yang lebih adil dan merata, peningkatan realisasi potensi/pokok ketetapan, peningkatan tertib administrasi dan peningkatan penerimaan pajak. Disamping itu dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada wajib pajak. Fiskus perlu selalu menjaga akurasi data objek dan subjek pajak agar memenuhi unsur relevan, tepat waktu, andal, dan mutakhir, sehingga basis data tersebut di atas perlu dipelihara dengan baik.
Pengertian Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) menurut Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-533/PJ/2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran, Pendataan dan Penilaian Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Dalam Rangka Pembentukan dan atau Pemeliharaan Basis Data Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP), Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak adalah :
“Sistem yang terintegrasi untuk mengolah informasi/data objek dan subjek Pajak Bumi dan Bangunan dengan bantuan computer sejak dari pengumpulan data (melalui pendaftaran, pendataan dan penilaian) pemberian identitas objek pajak (Nomor Objek Pajak), perekaman data, pemeliharaan basis data, pencetakan hasil keluaran (berupa SPPT, STTS, DHKP, dan sebagainya), pemantauan penerimaan dan pelaksanaan penagihan pajak, sampai dengan pelayanan kepada wajib pajak melalui Pelayanan Satu Tempat.”
Dari pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa SISMIOP merupakan sistem administrasi yang mengintegrasikan seluruh pelaksanaan kegiatan PBB P2 berbasis komputer, mulai dari pengumpulan data, pemberian identitas, pemrosesan, pemeliharaan, sampai pencetakan hasil keluaran. SISMIOP terdiri dari 5 (lima) unsur dan beberapa subsistem yaitu:
  1. Nomor Objek Pajak (NOP). Merupakan nomor unik yang menunjukkan identitas tiap-tiap objek pajak. Format penomoran NOP terdiri dari 18 digit.
  2. Blok. Blok ditetapkan menjadi suatu areal pengelompokkan bidang tanah terkecil untuk digunakan sebagai petunjuk lokasi objek pajak yang unik dan permanen. Untuk menjaga kestabilan, batas-batas suatu blok harus ditentukan berdasarkan suatu karakteristik fisik yang tidak berubah dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu, batas-batas blok harus memanfaatkan karakteristik batas geografis permanen yang ada, jalan bebas hambatan, jalan arteri, jalan lokal, jalan kampung/desa, jalan setapak/lorong/ gang rel kereta api, sungai, saluran irigasi, saluran buangan air hujan (drainage), kanal, dan lain-lain.
  3. Zona Nilai Tanah (ZNT). Merupakan pengelompokan kepemilikan tanah dalam suatu blok peta yang memiliki nilai indikasi rata-rata (NIR) yang sama. Format penomoran ZNT mulai dari AA sampai dengan ZZ. ZNT nomor AA mengindikasikan kelompok kepemilikan tanah dengan nilai tertinggi pada blok peta tersebut. ZNT nomor ZZ mengindikasikan kelompok kepemilikan tanah dengan nilai terendah pada blok peta tersebut.
  4. Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB). Merupakan daftar biaya yang dibuat untuk mempermudah melakukan penilaian bangunan. Penentuan DBKB disesuaikan dengan harga dan upah yang berlaku pada masing-masing kabupaten/kota.
  5. Program Komputer (Computer assested valuation/CAV). SISMIOP, sebagai pedoman administrasi PBB P2 merupakan sistem administrasi yang mengintegrasikan seluruh pelaksanaan kegiatan PBB P2. Karena jumlah objek pajak yang dikelola sangat banyak maka diperlukan sebuah teknologi komputer yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja sistem perpajakan yang sangat membutuhkan kecepatan, keakuratan, kemudahan dan tingkat efisiensi yang tinggi. Untuk menunjang kebutuhan akan sistem teknologi informasi perpajakan tersebut maka sejak tahun 1996 SISMIOP telah memasukkan Program Komputer sebagai salah satu unsur pokoknya.
Disamping itu dalam upaya mengoptimalkan fungsi-fungsi organisasi baik dalam bidang pengadministrasian, pelayanan, dan pengambilan keputusan serta dengan memanfaatkan teknologi informasi, telah pula dikembangkan sistem-sistem penunjang SISMIOP lainnya berupa Sistem Informasi Payment On-line System (POS), Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Pelayanan Informasi Telepon (PIT).
  1. Payment On-line System (POS). POS PBB merupakan suatu aplikasi pendukung SISMIOP yang berfungsi untuk meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak yang berhubungan dengan pembayaran PBB dan pemantaunnya. POS PBB mulai diimplementasikan pada bulan Agustus 1999 di DKI Jakarta. Dengan adanya aplikasi ini, wajib pajak dapat melakukan pembayaran PBB P2 di setiap tempat di wilayah indonesia tanpa terikat dengan wilayah administrasi. Selain itu, dengan aplikasi ini akan menunjang monitoring arus penerimaan PBB P2 ke kas Negara dari Kantor Pelayanan dan bank tempat pembayaran. Bahkan untuk saat ini sistem POS sudah mulai berkembang ke arah pembayara melalui internet banking.
  2. Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG PBB P2 adalah suatu sistem yang dirancang terintegrasi dengan SISMIOP dengan menekankan pada analisa secara parsial (keruangan) yang selama ini belum dapat ditangani oleh aplikasi SISMIOP. Secara umum aplikasi ini akan mendukung fungsi administrsi PBB P2 yang mencakup kegiatan pemantauan operasional, manajemen, pengambilan keputusan dan evaluasi kerja. Aplikasi ini membantu visuaisasi SISMIOP dalam tampilan spasial, sehingga manajemen pengambilan keputusan dapat lebih mudah dilakukan.
  3. Pelayanan Informasi Telepon (PIT). PIT PBB P2 adalah salah satu sistem aplikasi pendukung SISMIOP yang berfungsi untuk memberikan kemudahan pelayanan kepada wajib pajak terutama yang berkaitan dengan informasi atas objek pajak yang dimiliki wajib pajak yang bersangkutan melalui telepon atau mesin faksimili. Informasi yang dapat disajikan melalui PIT antara lain informasi jumlah ketetetapan PBB terutang, ststus pembayaran, informasi objek PBB seperti luas tanah, luas bangunan, kelas tanah dan bangunan dan informasi lainnya.
SISMIOP merupakan sebuah sistem manajemen PBB P2 yang terintegrasi. Untuk membentuknya memerlukan beberapa tahapan pekerjaan sebagai berikut ini.
  1. Pendaftaran Objek dan Subjek Pajak. Asas perpajakan nasional adalah self assessment, yaitu suatu asas yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan. Dalam pengenaan PBB P2, salah satu pemberian kepercayaan tersebut adalah dengan memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk mendaftarkan sendiri objek pajak yang dikuasai/dimiliki/dimanfaatkan ke Direktorat Jenderal Pajak atau tempat-tempat lain yang ditunjuk dengan cara mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
  2. Pendataan Objek dan Subjek Pajak. Pendataan subjek dan objek PBB P2 dilaksanakan oleh KPP Pratama atau pihak lain yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak dan selalu diikuti dengan kegiatan penilaian atau sering dikenal dengan pendaftaran secara jabatan. Pendataan dilakukan dengan tetap menggunakan formulir SPOP dan dilakukan sekurang-kurangnya untuk satu wilayah administrasi desa/kelurahan.
  3. Penilaian. Mengingat jumlah pajak yang sangat banyak dan menyebar diseluruh Indonesia, sedangkan jumlah tenaga penilai dan waktu penilaian dilakukan yang tersedia sangat terbatas, maka penilaian dilakukan dengan dua cara yaitu :
    a. Penilaian Massal
    Dalam sistem ini NJOP bumi dihitung berdasarkan NIR yang terdapat pada setiap ZNT, sedangkan NJOP bangunan dihitung berdasarkan DBKB. Perhitungan penilaian missal dilakukan terhadap objek pajak dengan menggunakan program komputer (CAV).
    b. Penilaian Individu
    Penilaian individual diterapkan untuk objek pajak umum yang bernilai tinggi, baik objek pajak umum maupun khusus yang telah dinilai dengan CAV namun hasilnya tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya karena keterbatasan aplikasi program. Proses penilaiannya adalah dengan memperhitungkan seluruh karakteristik dari objek pajak tersebut.
  4. Pemberian Identitas Objek Pajak (NOP). Pemberian nomor identitas objek pajak selalu berkaitan dengan kegiatan pengumpulan data, baik melalui kegiatan pendaftaran maupun pendataan. Nomor Objek Pajak (NOP) adalah nomor identifikasi objek pajak.
  5. Perekaman Data.
    a. Perekaman ZNT dan DBKB
    Perekaman ZNT dilakukan dengan memasukan kode masing-masing ZNT beserta NIR-nya ke dalam aplikasi. Perekaman DBKB dilakukan dengan memasukkan harga bahan bangunan dan upah pekerja dari setiap wilayah Daerah Kabupaten/Kota. Perekaman ZNT dan DBKB harus dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan perekaman SPOP.
    b. Perekaman SPOP
    SPOP yang sudah diadministrasikan diserahkan kepada masing-masing Operator Data Entry untuk direkam.
  6. Pemeliharaan Basis Data. Pemeliharaan basis data merupakan suatu kegiatan memperbaharui atau menyesuaikan basis data yang telah terbentuk sebelumnya melalui kegiatan verifikasi/penelitian yang dilakukan oleh KPP Pratama dan/atau laporan dari wajib pajak yang bersangkutan dalam rangka akurasi data. Pemeliharaan basis data SISMIOP dilakukan dengan cara :
    a. Pasif, yaitu kegiatan pemeliharaan basis data yang dilakukan oleh petugas fiskus berdasarkan laporan yang diterima dari wajib pajak dan atau pejabat/instansi terkait yang pelaksanaannya melalui prosedur Pelayanan Satu Tempat (PST).
    b. Aktif, yaitu kegiatan pemeliharaan basis data yang dilakukan oleh fiskus dengan cara mencocokkan dan menyesuaikan data objek dan subjek pajak yang ada dengan keadaan sebenarnya di lapangan atau mencocokkan dan menyesuaikan nilai jual objek pajak dengan rata-rata nilai pasar yang terjadi di lapangan, pelaksanaannya sesuai dengan prosedur pembentukan basis data.
  7. Pencetakan Hasil Keluaran. Pencetakan hasil keluaran berupa :
    a. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
    Surat Pemberitahuan Pajak Terutang adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB P2 yang terutang kepada wajib pajak.
    b. Surat Tanda Terima Setoran
    Surat Tanda Terima Setoran adalah surat yang digunakan untuk menyatakan bahwa wajib pajak telah melunasi pembayaran pajaknya sesuai tahun pajak yang bersangkutan. Surat Tanda Terima Setoran diperoleh wajib pajak jika wajib pajak telah melunasi pembayaran pajaknya melalui Bank/Kantor Pos dan Giro yang tertera dalam SPPT.
    c. Daftar Himpunan Ketetapan Pajak (DHKP)
    Merupakan daftar himpunan yang memuat rincian data nama wajib pajak, letak objek pajak, NOP, besar serta pembayaran pajak terutang yang dibuat per desa/ kelurahan.
  8. Pemantauan Penerimaan/Pembayaran. Pembayaran pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dapat dilakukan oleh wajib pajak melalui :
    a. Bank atau kantor pos dan giro tempat pembayaran yang tercantum pada SPPT
    b. Petugas pemungut PBB Desa/Kelurahan yang ditunjuk resmi
    c. Tempat Pembayaran Elektronik.
  9. Pelayanan Satu Tempat. Sistem pelayanan satu tempat merupakan tata cara pelayanan urusan PBB P2 kepada wajib pajak/masyarakat pada tempat yang telah ditentukan dan mudah dijangkau oleh wajib pajak/masyarakat.

Rakor Penyusunan Perbub/Perwal Tentang Pengelolaan PBB P2

Salah satu poin penting dalam proses peralihan PBBP2 adalah penyusunan perda dan peraturan pendukungnya. Sampai saat ini belum ada satu pun daerah yang sudah memiliki kelengkapan aturan tersebut. Apabila hal ini dibiarkan berjalan maka pengelolaan PBB P2 menjadi tidak memiliki arah dan kepastian hukum yang jelas bagi masyarakat. Disamping itu apabila setiap daerah dibiarkan secara liar menyusun aturanya sendiri sendiri tanpa memperoleh bimbingan dari yang sudah memahami esensinya akibatkan akan terjadi keberagaman kebijakan di lapangan. Dampaknya tentunya pada masyarakat itu sendiri. Jika hal ini tidak diantisipasi maka kebijakan di lapangan akan sangat beragam.

Oleh karena itu Kanwil DJP Sumbar Jambi bekerjasama dengan Pemprov Jambi berinisiasi untuk membantu pemda tingkat 2 menyusun benerapa aturan utama pengelolaan PBB P2 diantaranya;
1. Penetapan NJOP
2. Tata cara pencetakan SPPT STTS
3. Tata cara pembayaran
4. Tata cara penunjukan tempat pembayaran

Sebenarnya paling tidak terdapat 17 jenis aturan yang harus direplikasi. Namun karena waktu yang tidak memungkinkan baru bisa disusun 4 aturan di atas.

Rakor kali ini berlangsung selama 2 hari. Dibuka oleh Ibu Sekretaris DPKA provinsi Jambi dan dihadiri oleh Kabid PBB, Ka Biro Hukum dan 1 kasi dari 11 Kab/Kota se prov Jambi. Nantinya hasil dari rakor ini akan menjadi sebuah draft template aturan bupati walikota yang akan digunakan oleh pemda.
…. Nara sumber

image

…. Peserta rakor

image

Kab. Muaro Jambi Sudah Siap Melaksanakan Pengalihan PBB P2

Hari ini saya menyempatkan diri mengunjungi salah satu daerah pilot project pengalihan PBB P2 yg disiapkan oleh Kanwil DJP Sumbarja. Kabupaten yg sudah siap dari segi Sarana prasarana, IT dan SDM nya tsb adalah Muaro Jambi.

Kecepatan daerah ini dlm mengadopsi pengelolaan PBB P2 tidak lepas dr kegigihan, kerja keras, ketekunan kab yang bersangkutan dan pembinaan yg dilakukan oleh Kanwil Sumbarja serta KPP Pratama Jambi secara terus memerus selama 1 tahun ini.

Muaro jambi saat ini sudah dapat melakukan pencetakan SPPT menggunakan data dummy. Proses selanjutnya tinggal menunggu penyerahan data SISMIOP dari pempus utk segera dimasukkan dalam server dan kemudian di bulan januari melakukan cetak massal..
…. Ruang pelayanan

image

…. Testing pencetakan SPPT

image

…. Demo aplikasi SISMIOP

image

Bimtek PBB P2 untuk 11 Kab/Kota di Prov. Jambi

Menyongsong pengalihan PBB P2 menjadi pajak daerah di tahun 2013 dan 2014 di prov. Jambi maka dg bekerja sama dg DPKA Prov. Jambi, KPP Pratama dan Kanwil DJP Sumbarja menyelenggarakan bimtek tahap 2 dengan penekanan pada materi pendataan dan penilaian.

Peserta bimtek yg diselenggarakan selama 3 hari ini terdiri dari para pegawai DPKA di 11 kab/kota se prov. Jambi. Pola bimtek yg dikoordinir oleh prov ini sangat efektif dan efisien bagi pemda dan DJP.

Para pengajar terdiri dari tim Kanwil DJP Sumbarja…
image

Peluang dan Tantangan Devolusi PBB P2 Bagi Pemda Kabupaten/Kota di Provinsi Sumbarja

Tidak lama lagi masyarakat Indonesia akan dihadapkan pada perubahan besar dalam pengelolaan pajak, bahkan dibeberapa daerah mulai tahun lalu sudah merasakan perubahan itu. Seiring dengan era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, mau tidak mau suka tidak suka hal ini akan terjadi. Salah satunya adalah dengan didevolusinya dua jenis pajak pusat yaitu BPHTB dan PBB P2 menjadi pajak daerah.

 

BPHTB sudah sejak 1 Januari 2011 lalu resmi dikelola oleh pemerintah daerah, sedangkan untuk PBB P2 akan dilakukan secara bertahap sampai tahun 2014 nanti tergantung dari kesiapan daerah itu sendiri.

Wacana untuk pendaerahan PBB P2 sebenarnya sudah bergulir sejak lama. Bahkan menurut situs BPPK ide pendaerahan itu sudah ada sejak tahun 60-an, ketika dahulu PBB P2 lebih dikenal dengan Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) yang saat itu masih dikelola oleh Direktorat Jenderal Moneter. Namun mengingat kondisi saat itu tidak memungkinkan  maka wacana tersebut hanya baru sebatas ide saja. Namun tidak disadari dalam perjalanannya wacana itu terus bergulir sampai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Berdasarkan Undang-undang PDRD ini, Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang sebelumnya merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Pelimpahan pengelolaan PBB P2 kepada pemerintah daerah menurut pasal 182 ayat 1 UU PDRD akan dilaksanakan selambat-lambatnya pada 1 Januari 2014.

Perlu diketahui bahwa sebelum berlakunya UU PDRD, PBB P2 merupakan pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat namun demikian hasilnya seluruhnya diberikan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian tentunya pemerintah daerah mempunyai kepentingan yang sangat besar terhadap pajak ini. Pola tax sharing seperti ini memang dahulu sangat diperlukan terutama sebagai salah satu sumber penyeimbang pendapatan daerah, sesuai dengan salah satu fungsi pajak itu sendiri yaitu sebagai pengatur (reguleren). Namun seiring dengan berkembangnya rezim otonomi daerah dimana daerah diminta untuk lebih mandiri dalam mengelola sumber-sumber pendapatannya maka pola bagi hasil tersebut menurut pengagas UU PDRD ini sudah tidak relevan lagi.

Pendaerahan PBB P2 menurut beberapa penggagasnya, diharapkan akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaannya. Hal ini dinilai akan dapat terwujud bila pengelolaan PBB P2 diserahkan kepada masing-masing pemegang otonomi. Pada gilirannya diharapkan akan membawa iklim demokrasi yang lebih baik karena berakar langsung pada kondisi konkrit di daerah yang bersangkutan.

Pembiayaan kebutuhan daerah yang selalu meningkat setiap tahunnya yang selama ini masih sebagian besar dibiayai dari dana transfer DAU dan DAK dari pemerintah pusat dianggap kurang mencerminkan bentuk kemandirian daerah. Hal ini  pada akhirnya tidak memberikan insentif bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara efisien. Jika sebagian besar pembiayaan kebutuhan daerah diperoleh dari DAU dan DAK, maka otomatis peran pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahannya dianggap menjadi kurang dewasa. Diharapkan bila PAD dari sektor pajak semakin meningkat maka tentunya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pajak tersebut akan semakin tinggi, dan kesadaran untuk membayar pajak daerah serta retribusi daerah atas pelayanan publik yang langsung akan mereka nikmati juga akan makin tinggi.

Bersamaan dengan itu pemerintah daerah akan terdorong untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat karena setiap pembebanan tertentu kepada masyarakat memerlukan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Argumen lainnya yang dilontarkan sehubungan dengan proses pengalihan ini adalah bahwa objek pajak properti lebih bersifat immobile, dalam arti tidak dapat dipindahkan ke daerah lainnya, sehingga lebih pantas apabila dijadikan pajak daerah.

 

Gambar 1. Skema pengalisan seluruh kewenangan pemungutan PBB P2

Sebenarnya jika dilihat dari proses pemungutannya sejak dulu pemerintah daerah telah terlibat aktif terutama dalam hal penyampaian SPPT PBB P2 kepada wajib pajak dan pelaksanaan penagihan yang dilakukan secara bersama-sama dengan dibentuknya tim intensifikasi penagihan PBB P2. Namun demikian peran daerah tersebut sebenarnya tidak bisa dikatakan secara otomatis bahwa daerah mampu mengelola pajak ini dengan baik seperti yang selama ini dilakukan oleh pemerintah pusat. Masih perlu banyak hal yang harus dipertimbangkan, seperti masalah teknis administratif, SDM, struktur organisasi, teknologi informasi dan hal-hal lainnya. Demikian juga masalah bagaimana menjaga kesinambungan penerimaan Negara (fiscal sustainability) dan beban pajak masyarakat. Untuk itu perlu perhatian dan persiapan serius bagi pemda yang nantinya akan mengelola PBB P2. Masyarakat sangat berharap jangan sampai upaya pendaerahan PBB  P2 itu justru menjadi tidak produktif dan akan semakin menambah beban masyarakat dan pemda itu sendiri.

Jika ditinjau dari sisi pengalihan penerimaan sebenarnya tidak semua daerah akan menikmati pertumbuhan PAD dari PBB P2. Dari hasil analisa perhitungan perubahan penerimaan PBB P2 akibat dari berlakunya UU 28 tahun 2009, hanya akan dinikmati oleh kota-kota besar saja yang dalam waktu dekat akan mengalami penambahan penerimaan dari proses devolusi ini. Perhatikan skema pembagian penerimaan PBB P2 sebelum UU PDRD berlaku.

 

Gambar 2. Skema bagi hasil PBB P2 menurut UU PBB

Menurut UU PBB, pemerintah Kabupaten/Kota akan menerima penerimaan PBB P2 sebesar 64,8% ditambah:

  1. Bagi rata penerimaan (6,5% dibagi seluruh jumlah Kabupaten/Kota di Indonesia),
  2. Insentif bagi pemda Kabupaten/Kota yang capaian realisasi penerimaannya 100% (3,5% dibagi menurut proporsi capaian penerimaan),
  3. Sebagian dari biaya pemungutan.

Tambahan dari ke tiga item di atas itu saja ditahun 2010 paling tidak akan mencapai 2,5-3 miliar setahun. Dengan berlakunya UU PDRD maka skema bagi hasil di atas menjadi tidak berlaku lagi. Pemda Kabupaten/Kota akan murni menerima seluruh penerimaan PBB P2 untuk setiap tanah dan atau bangunan yang hanya berada di lokasinya saja menjadi PAD tanpa perlu dibagi lagi ke daerah lain dan Propinsi. Dengan demikian terbuka peluang tambahan penerimaan dari PBB P2 sebesar 35,2%. Apakah semua daerah akan merasakan hal yang sama ? Mari kita kaji lebih jauh.

Dari hasil simulasi menggunakan data realisasi penerimaan PBB P2 tahun 2010 berdasarkan skema bagi hasil pada gambar 2, kemudian dibandingkan dengan realisasi penerimaan PBB P2 setelah penerapan UU PDRD untuk studi kasus Provinsi Sumbar dan Jambi menghasilkan pola perubahan yang berbeda.

Tabel 1. Simulasi realisasi penerimaan PBB P2 berdasarkan UU PBB dan UU PDRD

Sumber: Data diolah dari realisasi penerimaan PBB P2 tahun 2010

Untuk Provinsi Sumbar dengan diberlakukannya UU PDRD dalam jangka pendek kemungkinan hanya 3 daerah saja yang akan mengalami peningkatan penerimaan PBB P2, sedangkan 16 Kabupaten/Kota lainnya akan mengalami penurunan penerimaan. Secara keseluruhan penerimaan PBB P2 untuk Provinsi Sumbar akan mengalami penurunan sekitar 5,03%. Kemudian untuk Provinsi Jambi dari hasil simulasi diperoleh hasil yang bertolak belakang. Dalam jangka pendek hanya 3 daerah saja yang akan mengalami penurunan penerimaan PBB P2, sedangkan 8 Kabupaten/Kota lainnya akan mengalami peningkatan penerimaan. Secara keseluruhan penerimaan PBB P2 untuk Provinsi Jambi akan mengalami peningkatan sekitar 0,86% atau tidak jauh berbeda ketika penerapan UU PBB sebelumnya.

Mengapa dikedua provinsi ini mengalami perbedaan pola penerimaan yang cukup signifikan sehubungan dengan penerapan UU PDRD ? Jika dilihat dari kondisi wilayah, untuk provinsi Sumbar sebagian besar daerahnya masing sangat mengandalkan penerimaan PBB P2 dari bagi rata 6,5% dan insentif 3,5%. Artinya terjadi ketimpangan yang sangat besar antara realisasi penerimaan murni dan tambahan bagi hasil dari daerah lain. Akibatnya ketika penerapan UU PDRD seluruh bagi rata yang selama ini diperoleh dari bagian daerah lain sebesar 2,5-3 miliar setahun akan hilang.

Kondisi berbeda terjadi di Provinsi Jambi. Provinsi Jambi ternyata selama ini merupakan salah satu provinsi yang menyalurkan sebagian penerimaan PBB P2 ke daerah lain. Sehingga ketika penerapan UU PDRD, untuk sebagian besar Kabupaten/Kota di provinsi ini justru dalam jangka pendek sudah dapat menikmati peningkatan penerimaan PBB P2. Hal ini juga bisa dilihat dari pertumbuhan sektor properti di kedua provinsi tersebut yang cukup mencolok.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah masalah biaya pengololaan PBB P2 (collection cost). Biaya pengelolaan yang selama ini ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan berlakunya UU PDRD maka pemerintah daerah secara otomatis akan menanggungnya. Artinya dimungkinkan ada daerah yang biaya pengelolaannya nanti akan lebih besar dibandingkan dengan hasil pemungutannya.

Bagaimana cara menyiapkan ketetapan PBB ?

PBB P2 pada dasarnya adalah pajak atas objek berupa tanah dan atau bangunan. Berbeda dengan BPHTB yang lebih bersifat self asessment dimana pajak ini tidak akan terjadi bila tidak ada perubahan kepemilikan atas properti yang dimiliki oleh wajib pajak. Sehingga pemda sebagai pengelola BPHTB lebih bersifat mengawasi peralihan kepemilikan atas properti tanah dan atau bangunan beserta pengawasan pembayarannya. Sedangkan PBB P2 merupakan pajak properti ini lebih bersifat official asessment. Artinya ketetapan pajaknya harus dipersiapkan terlebih dahulu oleh pemerintah daerah sebelum ditagihkan ke wajib pajak atas properti tanah dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai.

Apa saja yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah daerah agar PBB P2 ini dapat dipungut ? Tentunya ada beberapa variabel yang perlu diperhatikan seperti ilustrasi gambar di bawah ini.

Gambar 3. Formula perhitungan ketetapan PBB menurut UU PDRD

 Untuk menyusun ketetapan PBB P2 ada 3 variabel inti yang perlu dipersiapkan baik oleh pemerintah daerah sendiri maupun bersama-sama dengan DPRD. Ketiga variabel tersebut antara lain:

  1. Tarif à Tarif pajak ditetapkan dengan Perda sebesar maksimal 0.3%,
  2. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) à NJOPTKP ditetapkan dengan Perda sebesar paling rendah 10 juta rupiah,
  3. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) à NJOP diatur melalui peraturan Bupati/ Walikota.

Perhitungan ketetapan PBB P2 dalam UU PDRD ini sedikit berbeda dibandingkan dengan UU PBB lalu. Perbedaan terlihat terutama pada penerapan tarif (maksimal 0.3%) dan NJOPTKP (minimal 10 juta rupiah). Tarif efektif yang dulu berlaku ada 2 yaitu 0.1% untuk objek pajak yang NJOP-nya lebih kecil dari 1 miliar rupiah dan 0.2% apabila NJOP-nya lebih besar atau sama dengan 1 miliar rupiah.

Pemda perlu hati-hati dalam menentukan tarif ini karena setiap daerah diberikan kebebasan untuk menetapkan besaran tarif tersebut, sehingga kedepan kemungkinan besar akan ditemui variasi tarif PBB P2 antar daerah. Diperlukan kajian yang sangat mendalam untuk menentukan berapa besar tarif PBB P2 yang akan diterapkan agar pokok ketetapan PBB P2 yang dimiliki selama ini tidak mengalami penurunan dan masyarakat tidak bergejolak setelah ketetapan PBB P2 diluncurkan. Untuk menetapkan kedua variabel ini tentunya pemerintah Kabupaten/Kota tidak bisa bekerja sendiri, perlu membicarakannya dengan DPRD sebagai pihak legislator yang kemudian dituangkan dalam bentuk Perda.

Variabel yang bisa langsung dikontrol sendiri oleh pemerintah Kabupaten/Kota adalah dalam hal menetapkan besarnya NJOP tanah dan bangunan. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah suatu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. NJOP ini ditetapkan sebagai dasar untuk pengenaan PBB P2 terhadap suatu objek bumi dan atau bangunan.  Apabila tidak diperoleh harga transaksi jual beli, maka NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti. Yang dimaksud dengan :

  • Perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara membandingkannya dengan obyek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya,
  •  Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh obyek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik obyek tersebut.
  • Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu obyek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi obyek pajak  tersebut.

Selama ini penentuan besarnya NJOP dan klasifikasinya sebagai dasar pengenaan PBB diatur melalui Peraturan (Keputusan) Menteri Keuangan, dan yang berlaku hingga saat ini adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998. Namun karena ketentuan ini sudah sangat lama, dan sudah tidak memadai lagi untuk dijadikan sebagai dasar dalam pengenaan PBB, maka Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tanggal 27 Agustus 2010 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.

Berdasarkan ketentuan ini Klasifikasi NJOP Bumi sektor P2 dibagi menjadi 100 Klas, dengan nilai Klas tertinggi yaitu Klas 001 dengan NJOP sebesar Rp 68.545.000/m2 dan nilai Klas terendah yaitu Klas 100 dengan NJOP sebesar Rp 140/m2. Sedangkan Klasifikasi NJOP Bangunan sektor P2 menurut ketentuan ini dibagi menjadi 40 Klas, dengan nilai Klas tertinggi yaitu Klas 001 dengan NJOP sebesar Rp 15.250.000/m2 dan nilai Klas terendah yaitu Klas 40 dengan NJOP sebesar Rp 50.000/m2. Tentunya setelah menjadi pajak daerah apabila masih menginginkan metode perhitungan NJOP yang sama, ketentuan klasifikasi NJOP ini menjadi tidak berlaku lagi dan pemda perlu melakukan replikasi aturan tersebut kedalam peraturan Bupati/Walikotanya.

Sebelum dinilai dan ditentukan NJOP-nya, setiap objek berupa tanah dan bangunan yang dimiliki, dikuasai atau dimanfaatkan oleh subjek pajak perlu didata terlebih dahulu. Proses pendataan berupa pengumpulan data yang berkenaan dengan objek dan subjek pajak dimaksud dituangkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPOP) dan Lampiran Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (LSPOP). Proses pendataan ini dapat dilakukan secara langsung oleh fiskus atau pun wajib pajak yang datang sendiri dan melaporkannya ke kantor pajak setempat.

Setelah ketiga variabel tersebut dapat ditentukan barulah ketetapan PBB per objek pajak dapat dihitung dan ditetapkan dalam surat ketetapan yang disebut dengan Surat Pembertahuan Pajak Terhutang (SPPT). Pajak yang terhutang berdasarkan SPPT tersebut harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.

Bagaimana cara memungut PBB P2 ?

Tahap selanjutnya setelah pemda kabupaten/kota menghitung besaran PBB P2 yang nantinya akan tertuang dalam SPPT, langkah selanjutnya adalah melakukan proses penetapan SPPT. Tentunya karena jumlah objek pajak yang dikelola sangat banyak untuk provinsi Sumbar saja sekitar 2 juta SPPT dan provinsi Jambi sekitar 910 ribu SPPT, maka tidak mungkin dikerjakan secara manual. Untuk itu perlu dikelola dengan menggunakan sebuah sistem manajemen teknologi informasi. Teknologi informasi yang telah dipakai selama ini disebut dengan sistem manajemen informasi objek pajak (SISMIOP). Setelah seluruh SPPT tercetak, tahap selanjutnya adalah melakukan distribusi SPPT ke seluruh wajib pajak melalui channel Kecamatan, Kelurahan dan RT/RW.

Proses selanjutnya adalah mengadministrasikan pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak. Saluran pembayaran PBB P2 selama ini dapat dilakukan melalui bank-bank tempat pembayaran yang ditunjuk atau dapat pula melalui sistem jaringan ATM dan internet banking. Tentunya sistem pembayaran yang sudah berjalan selama ini tidak akan dapat berfungsi lagi bila pemda Kabupaten/Kota tidak membuat kerjasama baru, karena per tanggal 31 Desember jam 17.00 WIB sebelum tahun pengalihan seluruh rekening penampungan penerimaan dan kerjasama bank akan secara otomatis dihentikan.

Dalam jangka waktu tersebut wajib pajak memiliki hak untuk mengajukan beberapa jenis pelayanan sehubungan dengan SPPT yang telah diterbitkan. Pelayanan yang dimaksud dapat berupa keberatan atas SPPT, pengurangan atas ketetapan karena ketidakmampuan bayar, pembetulan data, pembatalan SPPT, mutasi SPPT, penerbitan baru dan lain-lain.

Apabila jatuh tempo 6 bulan setelah SPPT diterima terlampaui dan wajib pajak belum melakukan pembayaran PBB P2, maka langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota adalah melakukan proses penagihan aktif (law enforcement). Tentunya ada beberapa prosedur yang harus dilalui sebelum sampai pada proses penagihan secara aktif oleh fiskus.

Apa yang haru dipersiapkan ?

Untuk dapat mengelola PBB P2 tersebut pemerintah daerah Kabupaten/Kota perlu melakukan persiapan yang matang. Beberapa hal yang harus segera disiapkan adalah antara lain:

  1. Regulasi (Peraturan dan SOP).

Regulasi yang perlu segera disiapkan adalah berupa peraturan daerah (perda) tentang PBB P2. Perda PBB P2 yang telah disusun perlu dibahas dan disahkan terlebih dahulu oleh DPRD. Kemudian Perda tersebut disampaikan ke Provinsi dan setelah itu dimintakan persetujuan ke Menteri Keuangan cq. Menteri Dalam Negeri. Setelah perda disetujui selanjutnya pemda akan membuat surat pemberitahuan ke Menkeu cq. Mendagri tentang permintaan pendaerahan PBB P2 paling lambat 31 Juni sebelum tahun pengalihan.

Perlu diketahui bahwa per tahun pengalihan, seluruh peraturan pendukung dan SOP yang mengatur tentang pengelolaan PBB P2 yang selama ini dipakai oleh pemerintah pusat sudah tidak berlaku lagi seiring matinya UU PBB. Oleh karena itu pemda perlu melakukan replikasi aturan-aturan pendukung tersebut kedalam peraturan Bupati/Walikotanya. Peraturan pendukung yang perlu dibuat minimal menyangkut:

  1. Klasifikasi NJOP,
  2. Tata cara pendaftaran, pendataan dan penilaian objek dan subjek pajak,
  3. Tata cara penerbitan SPPT,
  4. Tata cara pembetulan dan pembatalan,
  5. Tata cara pengajuan pengurangan, keberatan, banding dan  peninjauan kembali atas keputusan keberatan,
  6. Tata cara penagihan dengan surat paksa dan pelaksanaan penagihan seketika sekaligus,
  7. Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran PBB P2,
  8. Tata cara pembayaran, penyetoran, angsuran dan penundaan pembayaran pajak,
  9. Tata cara pelayanan,

2. Organisasi, SDM dan pelatihannya,

Organisasi tatalaksana pengelola PBB P2 tentunya akan mengalami perubahan ketika dikelola oleh pemda. Cara paling efisien adalah dengan melakukan maching terhadap fungsi-fungsi pengelolaan PBB P2 yang selama ini ada di Dirjen Pajak ke dalam organisasi di pemda itu sendiri. Paling tidak organisasi yang akan dibentuk atau dikembangkan pemda nantinya berisi 5 fungsi seperti digambarkan dalam skema berikut ini.

Fungsi baru yang perlu dibentuk dalam organisasi pemda adalah fungsi pendataan dan penilaian. Sedangkan fungsi lainnya bisa dimaksimalkan dengan fungsi-fungsi organisasi yang selama ini telah ada, tentunya dengan terlebih dahulu melakukan transfer knowledge dan upgrade ilmu bagi pengelolanya nanti.

Berbicara tentang organisasi tentunya akan langsung terkait dengan SDM pengelolanya. Paling tidak diperlukan SDM yang mampu menangani 3 bidang baru yaitu:

  • 2 orang D1/D3 bidang IT,
  • 5 orang D3/S1 bidang Pendataan dan Penilaian,
  • 4 orang D1/D3 bidang Pelayanan umum PBB P2,

Terkait dengan SDM yang perlu dilakukan setelahnya adalah melakukan pendidikan dan pelatihan yang terdiri dari 3 tahap:

  • Pendidikan dan pelatihan pengelolaan PBB P2 secara umum,
  • Pendidikan dan pelatihan PBB P2 lebih spesifik (pendataan, penilaian, penetapan dan lain-lain),
  • Pemagangan di KPP Pratama.

Gambar 4. Fungsi organisasi pengelola PBB P2

3. Sarana dan prasarana.

Sarana dan prasara yang perlu disiapkan oleh pemda Kabupaten/Kota paling tidak meliputi 3 aspek antara lain:

  • Tempat Pelayanan yang akan menerima paling tidak 19 jenis pelayanan dan tempat penerima pembayaran PBB P2,
  • ATK yang meiputi blangko SPPT, blangko STTS, blangko DHKP, ribbon HS printer, blangko pendukung lain seperti SPOP, LSPOP dan Pelayanan,
  • Perangkat IT yang meliputi hardware, software, data dan dokumentasi.

Keseluruhan sarana dan prasarana tersebut tentunya disesuaikan dengan kebutuhan pemda masing-masing. Kebutuhan tersebut sangat tergantung pada jumlah data yang akan dikelola.

Gambar 5. Prasarana IT untuk pengelolaan PBB P2

4. Kerjasama dengan pihak terkait.

Kerjasama dengan pihak-pihak terkait perlu dibangun kembali oleh pemda setampat mengingat kerjasama yang selama ini terjalin antara pihak-pihak tersebut dengan Dirjen Pajak akan segera berakhir seiring dengan beralihnya PBB P2 ke pemda. Kerjasama yang perlu dibangun adalah antara lain dengan:

  • Bank penerima pembayaran, termasuk pembukaan rekening penerimaan PBB P2 di bank yang sehat dan pembukaan payment point. Perlu juga dipikirkan untuk tetap dikembangkan payment online system (POS) seperti yang selama ini sudah berjalan,
  • Kas daerah,
  • BPN,
  • PPAT Notaris,
  • Kantor lelang.

5. Sosialisasi.

Sosialisasi peralihan pengelolaan perlu sedini mungkin dilakukan terutama kepada pihak-pihak sebagai berikut:

  • Internal Pemda (lurah, camat, petugas pemungut, RT/RW dan petugas lainnya), DPRD, Propinsi,
  • Bank-bank penerima pembayaran,
  • Instansi terkait à BPN, Notaris PPAT, Kantor lelang,
  • Asosiasi properti à REI dll,
  • Asosiasi Notaris,
  • Developer properti,
  • Pemuka masyarakat,
  • Masyarakat umum.

6. Anggaran.

Bagian yang sangat penting lainnya adalah penganggaran atas seluruh persiapan yang telah direncanakan di atas. Anggaran perlu segera disiapkan dalam APBD pemda masing-masing. Anggaran yang dibutuhkan antara lain untuk keperluan:

  • Pengadaan Sarana Pelayanan,
  • Pengadaan ATK,
  • Pengadaan IT (hardware dan software),
  • Pengadaan POS,
  • Pelatihan SDM,
  • Sosialisasi dan launching.

Apa dampak yang mungkin terjadi dengan adanya pengalihan ini ?

Pengalihan pengelolaan PBB P2 ke pemerintah daerah tentunya akan menimbulkan dampak tertentu bagi pemerintah daerah maupun masyarakat yang bersangkutan. Namun demikian diharapkan dampak yang timbul akan lebih bersifat positif. Diharapkan dengan adanya pengalihan pengolaan PBB P2 ini maka:

  1. Akurasi data objek dan subjek PBB P2 akan semakin meningkat karena pemerintah daerah tentunya lebih menguasai wilayahnya dibandingkan dengan aparat pemerintah pusat,
  2. Pemda diharapkan lebih memiliki keberanian dalam melakukan penyesuaian NJOP karena penentuan NJOP yang dilakukan pemerintah pusat selama ini dinilai masih banyak yang under value;
  3. Pemberdayaan local taxing power melalui kewenangan penuh daerah dalam penentuan tarif dan pengelolaan administrasi pemungutan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas,

Namun demikian perlu juga dicermati bahwa dengan PBB P2 yang akan dikelola sendiri oleh pemda maka otomatis pemda harus mengeluarkan biaya baik biaya untuk investasi awal maupun biaya operasional per tahun sehingga perlu dilakukan kajian cost and benefit yang optimal. Disamping itu dengan tidak adanya lagi pola bagi rata penerimaan keseluruh wilayah Indonesia maka kemungkinan kesenjangan penerimaan PBB P2 antar daerah akan semakin melebar terutama antara daerah perkotaan dan pedesaan. Hal ini disebabkan karena disparitas potensi pajak properti antara kota dan desa masih cukup jauh.

Daerah yang semula hanya mengandalkan bagi hasil PBB P2 dari pemerintah pusat akan cenderung mengabaikan pemungutan PBB P2 karena dianggap sistem administrasinya yang sulit, kompleks dan biaya pengeloaannya tinggi  sedangkan penerimaan pajaknya kecil. Sementara itu untuk daerah perkotaan dan industri akan semakin gencar menggenjot potensi pajak propertinya baik dengan cara menyesuaian NJOP maupun dengan cara menaikkan tarifnya untuk meningkatkan PAD-nya. Sehingga dimungkinkan akan terjadi keberagaman kebijakan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Keberagaman tersebut dapat terlihat dari perbedaan penerapan besaran tarif dan NJOPTKP. Keberagaman penerapan kebijakan tersebut tentunya dapat menimbulkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat.

Kita semua tentunya berharap agar proses devolusi ini berjalan baik dan berkesinambungan dengan kebijakan sebelumnya. Artinya konsistensi penerapan kebijakan sebelum dan setelah devolusi harus benar-benar terjaga siapapun yang mengelola, sehingga dapat meminimalisasi terjadinya gejolak sosial di masyarakat. Disamping itu akurasi data objek dan subjek pajak yang sudah ada akan semakin meningkat dan terjaga dengan baik. Kualitas pelayanan terhadap permasalah penetapan PBB P2 yang mungkin timbul akan semakin baik. Terakhir tentunya stabilitas penerimaan pajak sebagai salah satu penopang PAD daerah akan tetap terjaga.