Disela-sela menyelesaikan pekerjaanku di Tanjungpiang kusempatkan menunaikan sholat Dhuhur disalah satu masjid terkenal di tanah Melayu. Meski sudah beberapa kali mengunjungi daerah ini, entah mengapa keinginanku untuk datang lagi ke Tanjungpinang begitu besar, terutama mengunjungi masjid Raya Sultan Penyengat yang terletak di pulau Penyengat Indera Sakti, Kecamatan Tanjung Pinang Barat, Kepulauan Riau, Indonesia.
Menurut Wikipedia pulau Penyengat atau disebut juga dengan nama pulau Penyengat Inderasakti, adalah sebuah pulau kecil terltak kurang lebih 3 km dari Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau. Pulau berukuran ini kurang lebih 2.500 m x 750 m. Untuk menuju pulau ini dari pelabuhan kota Tanjungpinang menggunakan perahu kayu bermesin memerlukan waktu tempuh kurang lebih 25 menit.
Pulau Penyengat merupakan salah satu obyek wisata di Kepulauan Riau. Salah satu daya tariknya adalah Masjid Raya Sultan Riau yang konon kabarnya terbuat dari putih telur. Disamping itu terdapat juga wisata ziarah makam-makam para raja, makam dari pahlawan nasional Raja Ali Haji yang terkenal dengan karyanya yang begitu melegenda yaitu Gurindam Dua Belas dan dinobatkan sebagia Bapak bahasa melayu Indonesia anda dapat menikmati bait bait Syair Gurindam Dua Belas yang terpatri rapi di tembok dalam komplek pemakaman Engku Putri, kompleks Istana Kantor dan benteng pertahanan di Bukit Kursi. Dari beberapa situs sejarah disebutkan bahwa pada abad ke-18, Raja Haji membangun sebuah benteng di pulau Penyengat, benteng tersebut tepatnya berada di Bukit Kursi, Di bukit itu ditempatkan beberapa meriam sebagai basis pertahanan Bintan. Ia kemudian menguasai wilayah istrinya Raja Hamidah tahun 1804, lalu anaknya kemudian memerintah seluruh kepulauan Riau dari pulau Penyengat. Sementara itu, saudara laki-lakinya memerintah di Pulau Lingga di sebelah selatan dan mendirikan Kesultanan Lingga-Riau.
Pulau Penyengat merupakan Mahar (emas Kawin) dari Raja Mahmudsyah untuk Istrinya, Engku Putri atau Raja Hamidah di tahun 1805. Engku Putri atau Raja Hamidah adalah putri dari Raja Haji Fisabilillah Yang dipertuan muda Riau ke-4. Di tahun yang sama dimulai pembangunan masjid kecil dari kayu di lokasi yang sama. Penerus Sultan Mahmudsyah yang kemudian membangun masjid ini hingga berwujud seperti yang sekarang kita lihat.
Sejarah mencatat bahwa perkawinan Raja Mahmudsyah dengan Engku Putri ini menjadi peristiwa yang penting terkait dengan Kesultan Riau Johor, karena Engku Putri di beri amanat untuk memegang lambang lambang kebesaran kesultanan atau Regelia yang menjadi syarat syah nya penobatan seorang Sultan menurut tradisi setempat. Itu sebabnya di jaman kekuasaan Belanda, pemerintah kolonial Belanda berusaha sekuat tenaha untuk merampas lambang lambang tersebut dari tangan Engku Putri. Namun Engku Putri teguh memegang amanah hingga ahir hayatnya.
Di perjalanan menuju pulau tersebut sudah terlihat bangunan berwarna kuning mencolok. Bangunan itulah yang disebut dengan masjid Raya Sultan Riau di pulau Penyengat, maka disitulah kita akan menemukan jejak-jejak sejarah dan kebudayaan Melayu yang mengagumkan. Masjid Sultan Riau ini terletak di pelataran. Kemungkinan, lokasi tersebut bekas bukit kecil yang diratakan, dengan tinggi sekitar 3 meter dari permukaan jalan. Untuk naik ke masjid, dibuat tangga yang cukup tinggi. Menurut salah satu data yang saya peroleh di salah satu web Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat berdiri pada tanggal 1 Syawal 1249 H (1832 M) oleh Raja Abdurrahman, Yang Dipertuan Muda Riau VII. Sampai saat ini bangunannya masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik. Terdapat empat menara yang menghias kubah masjid berbentuk seperti kuncup bawang. Kemudian terdapat pula dua bangunan kembar di kiri dan kanan depan masjid. Masyarakat setempat menyebut bangunan kembar tersebut dengan nama sotoh. Tempat ini berfungsi sebagai tempat permusyawaratan para ulama dan cendekiawan. Sementara di bagian belakang terdapat sejumlah makam keluarga Sultan. Pesona bangunan masjid ini juga terlihat dari kubahnya yang secara keseluruhan berjumlah 17 buah merepresentasikan jumlah rakaat shalat 5 waktu. Keseluruhan bangunan masjid berwarna kuning. Menurut cerita masyarakat, pada jaman itu Sultan memerintahkan menggunakan putih telur untuk memperkuat dinding masjid. Sementara untuk warnanya menggunakan kuning telur. Namun tentunya saat ini warna masjid yang kuning sudah menggunakan cat.
Di dalam masjid kita dapat melihat koleksi perpustakaan Raja Muhammad Yusuf al Ahmadi, Yang Dipertuan Muda Riau X, mimbar khotib yang khas serta kitab-kitab kuno dan kitab suci Al-Quran bertuliskan tangan. Disamping itu Al Qur’an tulis tangan lain yang ada di masjid, yaitu Al Qur`an tulisan tangan Abdullah Al Bugisi tahun 1752. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab termasuk kitab kitab kuning, dalam dua lemari di sayap kanan depan masjid. Al Qur`an tulisan tangan Abdurrahman Stambul masih bisa dilihat didalam Masjid yang dipajang didalam lemari kaca persis didepan pintu masuk, sedangkan karya Abdullah Al Bugisi tidak bisa dilihat lagi dan disimpan karena sudah rusak dan rapuh.
Sumber: Wikipedia, melayuonline, Kemenag