Bagian lain dari cerita masa kecilku (4): Perpustakaan Rajawali… by: wiwiem wintarto

http://www.facebook.com/notes/wiwien-wintarto/perpustakaan-rajawali/10150222086813379

Sebagai anak-anak, aku jauh lebih mudah tertarik pada buku daripada mainan. Di manapun aku berada, yang kucari pertama kali adalah buku atau koran atau majalah. Kalau ketemu, aku akan tenggelam dalam duniaku sendiri dan melupakan apapun yang ada di sekeliling. Dan saking begitu maniaknya, buku bacaan orang dewasa seperti cersil SH Mintardja pun ikut-ikutan kusikat pula!

Karena jarang beli sendiri, otomatis hubunganku jadi amat dekat dengan perpustakaan alias kios persewaan buku. Salah satu perpus langgananku adalah kios tanpa nama yang berlokasi di Blok A, kira-kira 300 meter dari rumahku di Blok F. Sisa uang saku pasti kupakai untuk meminjam buku di sana.

Kios itu terutama menyediakan komik dan sedikit novel. Tentu aku lebih tertarik pada komik daripada novel yang luar biasa tebal tapi isinya tulisan doang. Waktu itu yang sering kupinjam adalah komik-komik lokal versi kuno yang berukuran mungil setebal kira-kira 48 halaman dengan tiap halaman hanya berpanel dua.

Komik-komik karya Jan Mintaraga, Hasmi, Ganes Th, Tegoeh Santosa, atau Koes Bram itu sebagian besar berkisah tentang pendekar-pendekar silat. Tapi favoritku adalah komik-komik superhero lokal, kayak Gundala, Sembrani, Godam, atau Maza. Kadang ada juga versi lokal dari superhero Amerika. Spider-Man karya Stan Lee di-“recycle” menjadi Labah-labah Maut alias Lamaut dan Labah-labah Merah.

Tarif pinjam buku-buku komik itu Rp 25, dan biasanya terdiri atas empat volume, jadi satu kali pinjam keluar uang Rp 100. Yang 100 perak lagi sering kupakai untuk meminjam cerita bergambar Journey to the West. Itu, lho… kisah serial petualangan Sun Go Kong cs. Kalau sudah membawa pulang buku-buku itu ke rumah, aku bisa lupa diri. Kadang lupa belajar juga, hehe…

Maka masa keemasan peminjaman buku itu terjadi saat libur sangat panjang dari kelulusan SD menuju pendaftaran SMP. Karena tiap hari tak ada kegiatan, begitu bangun dan mandi ya langsung ke sana. Kadang-kadang bareng Bayu jika yang bersangkutan tengah menginap di Genuk.

Aku masih ingat sekali, pagi-pagi berangkat barengan ke kios persewaan. Begitu sampai rumah lagi, semua langsung jadi anteng karena sibuk membaca. Bapak pun bisa tenang menggambar komik si Kancil sambil memutar lagu-lagu jazz Ermy Kullit di tape player. Wah, sungguh kenangan yang tak bakal terlupakan…!

Dan sebagaimana yang terjadi dengan urusan perkartunan, membaca komik membuatku terinspirasi untuk bikin komik juga. Aku pun mulai menggambar komik superhero dengan tokoh bernama Kapten Bintara. Tak ingat aku dari mana dapat nama itu. Sepertinya dari berita-berita kriminal di koran yang kadang-kadang menyebut pangkat bintara polisi.

Namun karena era membaca komik dari persewaan buku di Blok A itu tak berlangsung lama, pekerjaanku menggambar komik pun hanya berusia seumur jagung. Seingatku komik Kapten Bintara baru rampung sekitar 25 halaman, sebelum aku kehilangan minat dan total berhenti. Sekarang manuskripnya sudah musnah. Barangkali karena terendam air banjir.

Tak hanya menjadi customer, aku juga pernah menjadi pengusaha persewaan buku. Embrionya terjadi saat masih tinggal di Blok B. Waktu itu ada salah satu teman Itok, namanya Arif, yang punya usaha kecil-kecilan persewaan buku. Suatu ketika, entah karena apa, usahanya harus berhenti, dan koleksi buku dan komiknya yang berjumlah puluhan itu untuk sementara dititipkan di garasi rumah kami.

Mendapat gratisan buku dalam jumlah sebanyak itu, meski hanya titipan, sudah pasti terasa seperti acara mabok-mabokan massal buatku. Aku sampai bingung mau baca yang mana dulu, terlebih karena sebagian besar adalah buku komik superhero Amerika seperti Superman, Batman, Justice League of America, The New Teen Titans, Legions of Super Heroes, dan juga All-Star Squadron terbitan Cypress.

Karena terlalu rajin baca komik, efeknya pun jelas: lupa belajar. Tak heran Bapak marah-marah dan menginstruksikan agar buku-buku itu dipulangkan ke Arif. Wah, rasanya seperti patah hati berpisah dengan kekasih tercinta waktu melepas buku-buku itu dibawa pulang Arif kembali. Untung sempat menyembunyikan beberapa biji di kamar, hehe…!

Beberapa waktu kemudian, aku bareng Eddi pernah membikin usaha perpustakaan sungguhan. Namanya Perpustakaan Rajawali. Entah mengapa rajawali, bukan elang, banteng, trenggiling, atau kuskus! Itu usaha betulan, karena Eddi sempat membuat stempelnya, sehingga berkesan serius dan tidak main-main.

Bila Eddi bikin stempel, aku membuat kartu anggota dan kartu kembali. Kartu anggota kubikin dengan kertas karton warna (merah jambu) dan mesin ketik yang dipinjam Bapak dari kantor. Sedang kartu kembali berbahan dasar kertas buram (CD) dan ditempel di balik kover belakang tiap buku. Di situ dituliskan tanggal ketika buku bersangkutan harus dikembalikan. Pada bagian atasnya aku ketikkan tulisan “DATE DUE”.

“Apa artinya ‘Date Due’?” tanya Itok heran.

“Nggak tahu,” aku menjawab polos.

“Lha, kenapa ditulis?”

“Niru buku-buku perpus Suara Merdeka!”

Bapak memang sering meminjam buku dari perpustakaan SM. Dan pada tiap buku memang terdapat lembar tanggal kembali itu, di mana pada bagian atasnya tertulis kalimat “DATE DUE”! Belakangan, kartu kembali kubuat dari kertas HVS dan tulisan pada bagian atasnya berganti menjadi “TANGGAL KEMBALI”.

Salah satu aktivitas yang paling mengasyikkan saat itu adalah memberi nomor katalog buku. Sistem penomoran adalah huruf paling awal judul buku, nomor yang menunjukkan urutan masuk buku itu dalam katalog, dan inisial judul. Jadi misal ada novel berjudul Misteri Rumah Kuno dicatat pada urutan keempat, maka nomor katalognya adalah M-4-MKN. Waktu itu range harga sewa berkisar antara Rp 25 hingga Rp 400 perbuku.

Koleksi kami lumayan juga, mendekati 100-an buku. Tempat sewa bisa di rumah Eddi atau di rumahku. Sedang para anggota perpustakaan sebagian besar adalah teman-teman sekelas waktu di SD dan awal-awal masa SMP. Sayang karena kami sama-sama sibuk dengan tugas sekolah, usaha perpustakaan akhirnya gulung tikar dengan sendirinya.

Sisa buku era Perpustakaan Rajawali masih ada yang bertahan selamat sampai sekarang, lengkap dengan nomor katalog dan harga sewanya, yang kutulis dengan bolpoin.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.