Bagian lain cerita masa kecilku (3): Panik… by: Wiwien Wintarto

http://www.facebook.com/notes/wiwien-wintarto/panik/10150198511623379

Pada awal dasawarsa 1980-an, Semarang dikenal sebagai sentra pembenihan (kayak buat udang windu aja…!) kartunis-kartunis handal berkelas nasional. Banyak kartunis berilmu tinggi yang sekarang ngetop berasal dari Kota Lunpia. Waktu itu mereka bermunculan lewat Tawa itu Sehat, rubrik kartun di Minggu Ini, edisi Minggu koran Suara Merdeka (sekarang menjadi tabloid Cempaka Minggu Ini).

Selain kartunis, yang saat itu juga ikut berkibar adalah kelompok-kelompoknya. Mereka bergabung dalam berbagai grup kartunis. Dengan join ke grup, akses menembus MI bisa lebih gampang daripada jika berusaha sendiri. Salah satu kartunis yang paling terkenal adalah Edy PR (sudah almarhum) dari kelompok kartunis Pokal (aku sudah lupa ini singkatan dari apa, tapi sepertinya berasal dari Kaliwungu, Kendal).

Grup kartunis lain yang juga sering tampil adalah Secac (Semarang Cartoonist Club) dan Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu). Aku sangat mengikuti perkembangan dunia kartun karena pekerjaan Bapak di SM ketika itu adalah menjadi redaktur rubrik kartun di MI.

Hampir tiap hari Bapak membawa pulang amplop atau bahkan tas besar berisi kiriman kartun dari segala penjuru dunia dan akherat! Satu kartunis bisa mengirim lebih dari satu kali dalam seminggu, dan masing-masing kiriman memuat antara 10 sampai 20 lembar gambar kartun. Sebelum diseleksi Bapak untuk dimuat, aku hobi melihat-lihat semuanya dan ketawa-ketawa sendiri.

Selain almarhum Edy PR, ada beberapa nama lain yang masih kuingat sampai sekarang. Yang paling sering berkirim kartun adalah seorang kartunis dari Solo bernama Supriyanto GS. Sekarang dia ngetop sebagai motivator dan budayawan dengan nama beken Prie GS. Ada lagi kartunis lain dari Kendal, yaitu Itos Boedy Santoso.

Karena sebagai anak komikus tentunya aku juga bisa menggambar, Bapak lantas menyuruhku untuk ikut bikin kartun juga, nanti pasti dimuat (nepotisme, haha…!). Aku pun segera beli kertas karton dan memotong-motongnya ke dalam ukuran sekitar 20 x 20 senti. Teknik gambarnya meniru Bapak, yaitu pakai pensil dulu sebagai sketsa, baru kemudian menggunakan pena merek Rapido yang berdiameter 0,5 milimeter. Sesudah gambar jadi, bekas pensil dihapus pakai setip alias penghapus karet (biasanya merek Staedtler!).

Namun menggambar dengan Rapido sangatlah sulit. Aku mengalami kesulitan memainkan ujung penanya yang sangat kuecil itu. Sementara menggunakan spidol susah juga, karena hasil goresannya terlalu besar dan gambar buatanku menjadi amat tak rapi. Untung kemudian muncul ke pasaran pena legendaris bernama Boxy yang buatku amat gampang digoreskan. Untuk seterusnya, aku pun berpindah ke Boxy dan meninggalkan Rapido serta spidol.

Sesudah bersenjatakan Boxy, aku mulai menggambar kartun. Tokoh kartunku adalah seorang cowok gundul berhidung besar mirip Bagong. Name tag-ku waktu itu Top ’84 (angka menunjukkan tahun ketika gambar itu dibuat, jadi akan terus berganti). Dari beberapa gambar yang kuserahkan ke Bapak, hanya satu yang dimuat di Tawa itu Sehat.

Kalau tak salah ingat, kartun pertamaku waktu itu terdiri atas dua panel. Pada panel pertama, tampak seseorang membawa buku melangkah mantap penuh senyum mengikuti arah papan penunjuk jalan yang bertuliskan “Perguruan Tinggi”. Pada panel kedua, ia kaget melihat perguruan tinggi itu ternyata sejenis bangunan rumah panggung yang memang luar biasa tinggi di atas tanah!

Honor pemuatan satu gambar kartun pada masa itu adalah Rp 2.000 (mungkin setara dengan Rp 100 ribu dengan kurs sekarang). Honornya tak langsung kuterima, tapi disimpan Ibu. Setelah terkumpul agak banyak dari hasil pemuatan selama beberapa edisi, duitnya lantas dibeliin celana.

Itulah untuk kali pertama aku bisa beli sesuatu dari duit sendiri. Bapak selalu mengatakan, segala sesuatu yang hasil buatan sendiri pasti lebih memuaskan, begitu pula kalau kita bisa membeli barang-barang dari duit yang kita hasilkan sendiri, bukan dari uang saku ortu.

Dan yang dikatakannya memang sangat betul. Rasanya bangga sekali bisa memakai celana itu. Sepertinya sah banget milik sendiri dan bukan pemberian. Momen itu sangat membentuk karakterku. Sesudah itu aku selalu terpacu untuk sebisa mungkin selalu mencari penghasilan sendiri.

Kebetulan pula Bapak juga menginstruksikan agar aku segera mencari skill andalanku. Menurut pendapatnya, orang hidup harus punya satu skill keahlian agar tidak lagi mencari pekerjaan tapi justru dicari-cari pekerjaan. Contohnya adalah dirinya sendiri, yang dengan skill menggambarnya bisa hidup layak dan yang namanya pekerjaan selalu mudah dicari.

Segera setelah aku, beberapa anak lain menyusul bikin kartun untuk dimuat Bapak di MI. Itok pastinya kena jatah “otomatis” juga, lalu Eddi. Yang belakangan juga ikut karena pintar menggambar pula adalah Pratmono alias Mono, teman sekelasku di kelas VI SD Gebangsari.

Sehabis pulang sekolah dan makan siang, kami pasti berkumpul di rumah Eddi sambil membawa kertas karton dan Boxy sendiri-sendiri, lalu bikin kartun rame-rame. Satu anak bisa bikin sampai lima lembar. Kalau sudah selesai, kartun-kartun kukumpulkan untuk kuserahkan pada Bapak. Hari Minggu-nya kami bisa jadi anak paling bahagia sedunia jika bisa melihat gambar bikinan kami nongol di koran dan bikin ketawa puluhan ribu pembaca MI (plus bayangan akan nerima honor!).

Karena kerap dimuat barengan, timbul ide untuk ikut-ikutan bikin kelompok juga. Dengan cepat kami nemu nama Panik, singkatan dari Paguyuban Kartunis Genuk (kan kami warga Kecamatan Genuk!). Anggotanya ya empat anak ini: Eddi, Mono, Itok, dan aku. Tiap bikin kartun, kami harus selalu menyertakan nama Panik (dengan simbol heart di atas huruf ”I”) di bawah name tag masing-masing. Jelas bangga melihat nama itu nampang di koran bareng Secac, Pokal, atau Kokkang!

Sayang Panik tidak berumur panjang. Namanya juga anak-anak, belum bisa serius menekuni sesuatu. Apalagi waktu itu kami lantas disibukkan dengan ujian akhir SD dan pendaftaran ke SMP. Lupa pulalah berkartun-ria. Seingatku, terakhir kali aku menggambar kartun adalah pas kelas I SMP (pakai nama Top ’85) sebelum kemudian banting setir mempelajari teknik nulis novel.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.