http://www.facebook.com/notes/wiwien-wintarto/cv-eka-jaya-sakti/10150180862348379
Di Semarang, aku masuk sekolah di SD Gebangsari I. Gebangsari adalah kelurahan sebelah. Rumahku sendiri, yang ada di Blok B Genuk Indah, masuk wilayah kelurahan Muktiharjo, di Kecamatan Genuk. Jarak sekolah mayan jauh dari rumah, dan harus ditempuh jalan kaki. Makanya kalau pas sekolah, aku dan Itok selalu berangkat pagiiii banget supaya tidak terlambat.
Teman pertamaku di SD Gebangsari adalah Eddi Wahyudi, tetangga juga di Genuk Indah. Rumahnya di Blok E, dekat sekali dari rumah. Keluarga Eddi punya satu peralatan yang saat itu terlihat mirip keajaiban dari surga buatku, yaitu video player.
Asli, pas pertama kali diajak nonton film bareng teman-teman sekelas, aku tidak percaya bahwa ada suatu alat untuk memutar film tanpa perlu lampu sorot dari proyektor. Tak percaya bahwa umat manusia sanggup menciptakan satu peranti sehebat itu! Terlebih waktu melihat kasetnya, aku makin kagum. Gede banget! Mirip kaset musik (kaset audio), hanya jauh lebih besar.
Aku kian pusing saking herannya waktu dikasih tahu bahwa perangkat video bisa dipakai pula untuk merekam acara TV. Jadi acara favorit seperti film, lagu-lagu, atau dagelan Srimulat bisa diabadikan sehingga dapat ditonton berkali-kali. Wah, gile…!
Saat itu, tiap kali aku dan teman-teman sekolah kumpul di rumah Eddi, yang kerap ditonton adalah film kung fu Hong Kong, macam film-filmnya Jackie Chan atau Bruce Lee. Namanya juga anak-anak. Sesudah nonton film kung fu, tangan dan kaki tahu-tahu jadi penuh aroma perkelahian. Sampai tiba di rumah, tetap saja mainnya adu jotos sambil ber-“ciat-ciaaat!” heboh sekali.
Waktu itu yang paling bikin aku sebal adalah kalau ada teman yang sudah nonton filmnya dan berperan sebagai spoiler hidup alias hobi banget membocorkan jalan cerita. “Nha, ini nanti lakonnya dipukul sampai hampir mati!”. “Ntar abis ini kan mobilnya meledak!”. Etc, etc. Huuh… mangkel! Rasanya pengin melempar anak itu hidup-hidup ke jumbleng yang ada di Janan!
Eddi adalah sahabat real pertama yang kupunyai seumur hidup. Maksudnya, teman tak hanya sekadar teman nongkrong dan main, namun juga teman berbagi ide. Seingatku, dengan dia, ada banyak sekali gagasan cemerlang—yang seharusnya belum terpikirkan oleh anak-anak usia 11 tahunan—yang sudah terlintas dan sama-sama dilakukan bareng.
Salah satu ide kami yang paling brilian adalah “menerbitkan” buku. Idenya muncul setelah nonton film horor, lalu dia usul bagaimana kalau kami bikin buku cerita horor. Misal berjudul Misteri Rumah Hantu, Misteri Rumah Tua, and so on. Besoknya Eddi membeli buku tulis baru dan menuliskan judul itu di halaman depannya.
Aku juga tak mau kalah dan ikut membeli buku tulis baru (buku tulis biru cap Banteng—buku tulis paling populer saat itu!) untuk membuat sebuah “buku cerita”. Karena ingin sungguh-sungguh terlihat macam buku sungguhan, maka segala persyaratan buku cetak kami ikuti.
Di halaman depan harus ada gambar ilustrasi dan desain sampul, lalu halaman judul, lalu halaman kredit, dan juga halaman daftar isi. Di halaman kredit harus ada nama pengarang, nama ilustrator, nama penerbit, nama percetakan, dan juga edisi cetakan ke berapa dan tahun berapa buku bersangkutan itu.
Kami sempat agak bingung menentukan nama “perusahaan” penerbitan kami itu. Cerita belakangan. Yang penting nemu nama penerbit dulu.
“Gimana kalau CV Eka Jaya Sakti?” kata Eddi memberi usul.
“Oke juga, tuh,” jawabku. “Tapi kenapa namanya itu?”
“Ya bagus aja. Eka yang selalu jaya dan sakti. Hebat, kan?”
“Iya, sih. Trus, nyetaknya di situ juga?”
“Iya. Ini perusahaan penerbit sekaligus punya percetakan.”
“Oke, deh. Ayo, mulai ditulis!”
Dan mulailah kami bersama-sama menulis cerita. Tapi ceritaku tak jadi horor, melainkan melodrama anak-anak. Judulnya Yang Dinanti Datanglah Jua, tentang seorang anak perempuan bernama Ana yang mendapat teman baru di rumah sebelah. Tak tahunya sang teman baru ini adalah kakak kandungnya yang diadopsi orang lain. Mereka terpisah bertahun-tahun lalu waktu desa mereka dilanda banjir.
Novel itu dikarang oleh Sutopo Wintarto (belum nemu nama pena Wiwien Wintarto). Ilustrasi oleh Sutopo Wintarto juga. Gambar-gambarnya sungguh lucu. Lebih lucu karena ceritanya cukup tertampung dalam satu buku persis. Dan ending tamatnya juga tepat di halaman belakang. “Novel” antik tersebut masih ada sampai sekarang. Kusimpan sebagai kenang-kenangan penting karena dari sinilah salah satu tonggak paling awal yang menentukan tempatku berada sekarang ini.
Yang agak janggal adalah periode waktunya. Di halaman kredit tertulis buku itu diterbitkan pertama kali bulan Desember 1982. Tapi di bagian belakang, time tag dari penulis pada bagian ending tertulis “Semarang, Februari 1983”. Jadi novel itu diterbitin dulu dan baru ending-nya diselesaikan belakangan, hehe…!
Mengenai nasib buku cerita karangan Eddi, aku sendiri tak begitu ingat sekarang ini. Sepertinya buku itu tak pernah selesai. Sungguh sayang…
One thought on “Bagian lain dari cerita masa kecilku (1):CV. Eka Jaya Sakti… by Wiwien Wintarto”