Seiring dengan euforia otonomi daerah melalui pola desentralisasi fiskal maka Insya Allah mulai tanggal 1 Januari tahun 2011, pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau yang biasa dikenal dengan BPHTB akan resmi sepenuhnya menjadi pajak daerah (local tax). Pengalihan wewenang pemungutan atau devolusi BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dengan demikian per tanggal 1 Januari 2011 Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) sudah tidak lagi melayani pengelolaan pelayanan BPHTB, sehingga wajib pajak yang akan melaporkan pembayaran BPHTB sehubungan dengan proses transaksi properti yang dilakukannya akan langsung ditangani oleh Pemerintah Kabupaten/Kota setempat.
Untuk diketahui selama ini pelaksanaan pemungutan BPHTB dilakukan oleh Pemerintah Pusat namun demikian seluruh penerimaan pajaknya diberikan kembali ke Pemerintah Daerah melalui pola bagi hasil. Namun demikian dengan memperhatikan Pasal 180 angka 6 UU PDRD yang menyebutkan bahwa UU UU No. 20 tahun 2000 tentang BPHTB tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini maka tahun 2010 merupakan tahun terakhir bagi Pemerintah Pusat untuk mengelola BPHTB. Selanjutnya, mulai 1 Januari 2011 sangat tergantung dari kesiapan dan minat Kabupaten/Kota untuk menentukan, apakah pengelolaan BPHTB di wilayahnya akan dilaksanakan atau tidak. Dengan pengalihan ini diharapkan BPHTB akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial bagi daerah tertentu, dibandingkan dari keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah selama ini ada.
Disamping itu menurut teori pajak properti internasional yang selama ini dipakai oleh para penggagas UU ini adalah bahwa property tax cenderung lebih bersifat lokal. Fisibilitas dan immobilitasnya menjadi salah satu alasan penting mengapa BPHTB lebih cenderung menjadi pajak daerah. Apalagi jika dikaitkan dengan unsur pelayanan masyarakat, dimana akuntabilitas dan transparansi menjadi isu yang paling disoroti di era otonomi daerah. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa beban pajak properti sering dikaitkan langsung dengan pelayanan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah daerah, misalnya dalam menyediakan/memelihara sarana-prasarana, sehingga secara logika wajar bila pajak properti dikelola langsung oleh pemerintah daerah. Namun kenyataannya apakah demikian ? Hal ini masih menimbulkan tanda tanya khusus untuk kasus di Indonesia dan perlu pembuktian untuk beberapa tahun kedepan.
Tabel 1. Jumlah penerimaan BPHTB per Kabupaten/Kota Tahun 2009
Jika dianalisa lebih jauh jumlah penerimaan BPHTB per Kabupaten/Kota yang nilai ketetapannya diatas 2 miliar rupiah berjumlah 189 (38,4%) sisanya sejumlah 303 Kabupaten/Kota penerimaan BPHTB nya dibawah 1 miliar rupiah. Artinya dengan asumsi biaya investasi PBB-P2 dan BPHTB sebesar 1-1,5 miliar rupiah dan biaya operasional sekitar 1 miliar rupiah per tahun (karena kedua jenis pajak ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, meski untuk PBB-P2 masih ada waktu pengalihannya sampai dengan tahun 2014) maka dalam waktu dekat kecil kemungkinan daerah tersebut akan memungut BPHTB. Rasanya hal ini malah bisa dijadikan insentif sekaligus daya tarik bagi masyarakat untuk mengembangkan propertinya di daerah tersebut. Masalah ini pula yang menjadi concern Menteri Keuangan Agus Martowardojo, dalam keterangan pers di kantornya, Jalan Wahidin, Jakarta, Selasa, 28 Desember 2010 seperti dilansir oleh Vivanews.com, karena menurutnya akan terjadi potensial loss bagi negara apabila sebagian daerah tidak memungut pajak ini.
Tentunya untuk bisa melakukan pemungutan BPHTB, Pemerintah Daerah yang bersangkutan harus terlebih dahulu memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengaturnya, jika tidak memiliki Perda maka Pemerintah Daerah tidak boleh memungut BPHTB. Dengan demikian masyarakat yang akan membeli properti di daerah yang belum memiliki Perda BPHTB tidak perlu membayar pajak tersebut alias gratis karena Perda yang misalnya nanti baru ditetapkan setelah 1 Januari 2011 tidak dapat berlaku surut. Masyarakat juga perlu menyadari bahwa kedepannya akan terjadi keberagaman sistem dan pola pemungutan BPHTB di 492 Kabupaten/Kota, dimana disetiap Pemerintah Daerah diberikan kebebasan untuk mengelola sesuai dengan kemampuannya. Menurut hasil survey kesiapan daerah yang dilakukan oleh Kemenkeu per tanggal 23 Desember 2010 dari 492 daerah yang akan memungut BPHTB, terdapat sekitar 160 daerah yang sudah siap memungut pajak itu (indikator kesiapan adalah Perda sudah siap). Sisanya sebanyak 108 daerah sedang dalam proses penyiapan Perda dan 224 daerah masih belum ada informasi.
Tabel 2. Hasil survey kesiapan daerah dalam memungut BPHTB tahun 2011
Yang dimaksud dengan pengalihan wewenang pemungutan sebenarnya adalah merupakan pengalihan seluruh rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terhutang, pelaksanaan kegiatan penagihan pajak terhadap Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut UU PDRD adalah money follows functions, yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan tentunya masih dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada daerah. Jika dilihat secara seksama inti dari Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 adalah antara lain:
- Pengenaan pajak yang close list, artinya Pemda tidak diperkenankan memungut jenis pajak lain selain yang disebutkan dalam UU tersebut,
- Perubahan pola pengawasan yang semula bersifat represif menjadi ke arah preventif dan korektif,
- Terdapat sanksi bagi daerah apabila melanggar,
- Mulai memperkenalkan adanya earmarking system, artinya pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis pajak dan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan pelayanan yang bersangkutan,
- Terdapat pengalihan hak pemungutan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Tabel 3. Penambahan Jenis Pajak Baru
Adapun tujuan penyempurnaan dari UU PDRD adalah:
- Memperbaiki Sistem Pemungutan pajak dan retribusi daerah,
- Meningkatkan Local Taxing Power melalui:
- Perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah,
- Penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah (termasuk pengalihan PBB dan BPHTB menjadi Pajak Daerah),
- Menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah,
- Memberikan diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah.
- Meningkatkan Efektifitas Sistem Pengawasan dengan cara:
- Mengubah sistem pengawasan,
- Mengenakan sanksi bagi yang melanggar ketentuan PDRD.
- Meningkatkan Sistem Pengelolaan melalui penyempurnaan:
- Sistem bagi hasil pajak Provinsi,
- 2. Pengembangan sistem earmarking,
- Memberikan insentif pemungutan.
Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 yang memberikan diskresi tarif dan perluasan basis pajak, maka diharapkan kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya akan jauh meningkat. Daerah juga akan lebih mudah dalam menyesuaikan jumlah dan sumber pendapatannya. Dalam hal pengaturan perpajakannya juga terdapat beberapa perbedaan antara Undang-undang BPHTB Nomor 20 Tahun 200 dengan yang tertera dalam Undang-undang PDRD. Perbedaan tersebut dapat dirangkum dalam tabel sebagai berikut ini.
Tabel 4. Perbedaan mendasar antara UU BPHTB dengan UU PDRD
Dalam rangka mempersiapkan pengelolaan BPHTB kepada pemerintah kabupaten/kota ini, maka menurut menurut pasal 182 angka 2 UU PDRD diatur bahwa Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri bersama-sama mengatur tahapan persiapan pengalihan BPHTB sebagai Pajak Daerah dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-undang ini. Untuk pelaksanaan persiapan tersebut telah diterbitkan pula Peraturan Bersama (Perber) antara Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 186/PMK.07/2010 dan Nomor 53/2010 tentang tahapan persiapan pengalihan BPHTB sebagai pajak daerah. Menindaklanjuti Perber tersebut kemudian pula telah diatur proses peralihan BPHTB dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor 47/PJ/2010 dan untuk mengakomodasi penataan struktur organisasi Pemda sehubungan dengan pengalihan pajak ini maka diterbitkan pula Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56/2010.
Persoalan yang mungkin akan timbul dari proses devolusi ini adalah antara lain dari segi kemampuan aparat daerah terutama dalam penentuan basis pajak dan pelayanan masyarakatnya. Selain itu, terbuka kemungkinan kecilnya kemauan politik daerah untuk mengenakan tarif yang memadai dan/atau menerapkan sanksi yang keras berhubung terkait langsung dengan kepentingan politik penguasa yang bersangkutan di daerah.
Hal lain yang juga kemungkinan dapat menjadi masalah adalah masih terbatasnya pengalaman daerah dalam pengembangan sistem informasi dan pengembangan infrastruktur penunjang. Kesulitan-kesulitan itu pula yang barangkali menyebabkan sebagian daerah masih lebih suka kalau pajak ini tetap menjadi pajak pusat sementara daerah cukup menunggu bagiannya saja.
Gambar 1. Dampak devolusi BPHTB secara nasional danmanfaat devolusi BPHTB bagi Pemerintah Kabupaten/Kota Berupa peningkatan PAD.
Jika kita lihat dari sisi penerimaan BPHTB, sebenarnya Pemerintah Pusat hanya akan kehilangan penerimaan sekitar 7,4 triliun rupiah (1%) saja dari total penerimaan pajak di APBN. Namun dari sisi Pemerintah Daerah khususnya bagi daerah yang penerimaan BPHTB-nya kecil, maka dengan devolusi ini akan berdampak negatif terhadap PAD-nya. Karena selama ini seluruh Pemda Kabupaten/Kota akan menerima bagi rata sekitar 2 miliar rupiah per tahun. Nah mulai tahun 2011 penerimaan pajak dari bagi rata ini tidak akan diperoleh lagi. Menurut data realisasi penerimaan BPHTB tahun 2009, diperkirakan kemungkinan hanya 89 Kabupaten/Kota (18%) saja yang penerimaan BPHTB-nya akan lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya, sisanya akan mengalami penurunan penerimaan.
Tetapi dari sisi pelayanan, dengan jauh berkurangnya Wajib Pajak yang dilayani oleh Pemerintah Pusat, maka diharapkan pelayanan perpajakan akan jauh lebih baik. Pelayanan yang baik akan meningkatkan kepatuhan perpajakan, yang pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pajak. Dilimpahkannya pengelolaan BPHTB kepada Kabupaten/Kota, bukanlah sekadar untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam memenuhi kebutuhan pengeluarannya, tetapi juga dalam rangka mengefektifkan pengelolaan administrasi dan pelayanannya. Pemerintah Kabupaten/Kota tentu akan lebih memahami seluk beluk daerahnya serta mengetahui pula apa yang terbaik bagi daerahnya. Dari sisi pelayanan kepada Wajib Pajak, pengelolaan BPHTB diharapkan akan menjadi lebih baik.
Semoga demikian adanya, selamat dan sukses bagi Pemda Kabupaten/Kota yang akan mengelola BPHTB per 1 Januari 2011.
makasih pak.. aku ijin copas ya .. kebetulan lagi bikin naskah akademis buat ke DPRD dalam rangka pengajuan ranperda pajak daerah… semoga tulisan nya menjadi amal ibadah bapak..
Sama2… Mohon sharing juga kondisi diwilayahnya…
mau tanya pak…saya mahasiswa di salah satu PT di kota Palembang, td saya membaca tulisan bpk mengenai persoalan yg timbul dari proses devolusi. saya ingin bertanya bagaimana cara utk mengetahui atau mengukur kemampuan aparat daerah ? kemudian bagaimana cara utk mengetahui tw mengukur terbatas atau tidaknya pengalaman daerah dlm pengembangan SI dan Infrastruktur penunjang ? kebetulan Palembang merupakan slh satu kota yg siap memungut BPHTB. Mohon penjelasannya pak, terima kasih atas waktunya :)
Dear Udin…
Terkait dg pertanyaan saudara:
1. bagaimana cara utk mengetahui atau mengukur kemampuan aparat daerah ?
Indikator pengelolaan PBB P2-BPHTB paling tidak ada 4 hal yg harus dipenuhi:
1. Peraturan. Sebelum mengelola kedua jenis pajak tsb perlu membuat cloning bbrp peraturan sbb:
1.Tarif dan treshold
2.Pendataan
3.Penilaian
4.Pencetakan SPPT/STTS/DHKP
5.Penerbitan SPPT
6.Penetapan Pajak (NJOPTKP,NPOPTKP Ketetapan Minimal dll)
7.Administrasi Penerimaan
8.Pemungutan & Tempat Pembayaran
9.Penagihan
10.Tunggakan
11.Pemeriksaan/Penelitian
12.Pengurangan & Keberatan
2. Peralatan. Peralatan untuk keperluan pengelolaan khususnya PBB P2 adl:
Perangkat Lunak : aplikasi oracle,DBKB,BDNPP,SISMIOP dll
Perangkat Keras : 1. High Speed Printer
2. Scanner & Plotter untuk peta
3. Komputer dan Printer
4. GPS
5. Distometer
6. Theodolit
7. File Storage
8. Digital Camera
3. Personel.
1.Petugas Pendata/Surveyor untuk pengukuran, pemetaan dan pengidentifikasian objek pajak
2.Penilai (Valuer)
3.Operator Console (OC)
4.Petugas Administrasi Pemungutan
5.Petugas Pungut
6.Petugas Penagih/Juru Sita
7.Pendistribusi
4. Pembiayaan
1.Pembangunan Basis Data
2.Pengadaan Barang (Blangko SSB, SPPT,STTS dll)
3.Pengadaan Peralatan (HW & SW)
4.Honorarium Tim (Petugas Pungut,dll)
5.Pelatihan SDM
6.Biaya Administrasi
7.Biaya Pemungutan
8.Pelaksanaan Pendataan & Penilaian
9.Input Data Objek/Subjek
10.Pencetakan Keluaran (SPPT,STTS,DHKP)
Nah persyaratan tsb bisa dijadikan tolok ukur kemampuan daerah dalam mengelola PBB P2-BPHTB dengan menggunakan sistem yang minimal sama dengan yang pernah dilakukan pemerintah pusat.
2. kemudian bagaimana cara utk mengetahui tw mengukur terbatas atau tidaknya pengalaman daerah dlm pengembangan SI dan Infrastruktur penunjang ?
Masalah TI dan infrastruktur penunjang merupakan salah satu bagian yang cukup rumit. Karena pemerintah pusat tidak dalam posisi menyerahkan infrastrukturnya ke daerah sehubungan dengan devolusi ini karena berbagai alasan. Di dalam Perber pengalihan pun tdk disebutkan adanya peralihan TI dan infrastruktur. Sehingga konsepnya adl daerah harus melakukan investasi sendiri di bidang hardware. Sedangkan software nya diberikan secara cuma-cuma, hanya lisensi harus tetap dibeli. Perlu diketahui teknologi informasi yg dipakai utk mengelola BPHTB-PBB P2 menggunakan oracle dan teknologi IT mutakhir lainnya, saya rasa untuk pemda perlu mendalami lebih jauh mengenai hal ini. Pemda perlu mendidik SDM nya secara khusus mengenai masalah ini, karena di Indonesia saya rasa baru Ditjen Pajak yg memakai teknologi ini. Kalau masalah infrastruktur, kita juga tau keterbatasan yg dimiliki daerah, termasuk terbatasnya jaringan komunikasi data yang ada untuk bisa berhubungan secara nasional sehingga dapat membentuk payment on line system seperti yang ada selama ini.
Jika anda akan melakukan penelitian ttg hal ini saya rasa sangat menarik utk dikaji lebih jauh….
maaf pak saya ingin bertanya tentang beberapa point antara lain:
1. yang dimaksud dengan Local taxing power itu apa?
2. dari mana bapak mendapat alasan dan tujuan dari pengalihan PBB sektor P2 dan BPHTB?
atas perhatiannya terima kasih.
@deri:….
1. Yang dimaksud dg local taxing power adalah kemampuan pajak daerah dalam mendukung (berkontribusi) pada aktivitas ekonomi daerah (PDRB).
2. Tujuan dari pengalihan PBB P2 dan BPHTB dapat anda lihat dari penjelasan UU 28/2009. Disamping itu bisa juga anda bandingkan antara isi pasal-pasal dalam UU 28/2009 dengan UU PBB dan BPHTB yang lama..
Terima kasih deri:….
1. Yang dimaksud dg local taxing power adalah kemampuan pajak daerah dalam mendukung (berkontribusi) pada aktivitas ekonomi daerah (PDRB).
2. Tujuan dari pengalihan PBB P2 dan BPHTB dapat anda lihat dari penjelasan UU 28/2009. Disamping itu bisa juga anda bandingkan antara isi pasal-pasal dalam UU 28/2009 dengan UU PBB dan BPHTB yang lama..
oh, terimakasih…..
terus saya mau tanya lagi, kan dengan dialihkannya PBB ke daerah, akan menyebabkan pengelolaan PBB akan beragam ditiap-tiap daerah… kira2 adakah cara untuk menyeragamkan sistem pengelolaan PBB tersebut?
@Deri… Keberagaman penerapan PBB P2 dan BPHTB di setiap daerah (492 Kab/Kota) tidak bisa dihindari dan kondisi ini pula memang yg diinginkan oleh UU 28/2009. Namun demikian melalui Pertaturan Bersama Menkeu & Mendagri telah diberikan guideline bahwa untuk menghindari keberagaram pengelolaan pemerintah daerah “disarankan” ukt menerapkan PBB P2 dan BPHTB seperti yg sdh berjalan saat ini ketika dikelola oleh pem pusat, termasuk melakukan cloning terhadap aturan-aturan yang pernah diterapkan… Namun perlu diingat bahwa hal tsb hanya sebatas menyarankan pengelolaan saja, karena wewenang sepenuhnya ada di daerah. Bahkan daerah pun diperbolehkan untuk tdk memungut bila dianggap tidak menguntungkan…
sy mau buat tesis dg pajak daerah, bisakah Bpk membantu indikator pajak daerah, buku2 terkait mslh tersebut,saya ingin membuat jdl analisis strategi optimalissi pjk daerah…terimakasih atas bantuannya pak
saya saat ini lg penelitian untuk penyusunan tesis ttg pemungutan BPHTB dan dampaknya trhd kab/kota sesuai dgn UU no 28 tahun 2009. kira2 variabel apa yang harus saya pakai pak. atas jwbnya di ucapkan terima kasih
dpt pencerahan atas info dr anda mas… thx:)
terimakasih tulisannya pak, salam kenal… saya cukup terbantu dalam penyelesaian tugas akhir saya menyangkut peran BPHTB dalam meningkatkan PAD kab/kota di tempat saya tinggal, yaitu pekanbaru. :)
pak…say ada kasus nih. bisa tolong bantu saya?
3 tahun yang lalu say membeli sebuah ruko. bphtb sudah saya bayar ke pajak pusat. namun samapai saat ini saya belum menerima surat2 kepemilikan ruko tersebut. akhirnya saya minta bantuan ke notaris untuk mengurus surat2 ruko tersebut karena ruko tersebut akan saya jual. tapi notaris minta saya bayar bphtb lagi ke pajak daerah. apakah ssb yang saya miliki 3 tahun lalu tidak berlaku? berarti saya melakukan dobel bayar yah?
solusinya bagaimana yah pak?
sebelumnya saya ucapkan terima kasih
Pada dasarnya saat terhutang BPHTB untuk jual beli itu terjadi sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta (UU 20/2000 Pasal 9 ayat 1). Jadi ketika anda memutuskan 3 th lalu melakukan transaksi atas ruko di depan notaris, setelah dilakukan pembayaran BPHTB notaris wajib membuat AJB. Saya kurang jelas mengapa pada saat itu tidak juga langsung dilakukan AJB atas transaksi tersebut.
Ketika saat ini anda belum memiliki AJB atas transaksi awal, sementara baru saat ini akan mengurusnya maka benar bahwa notaris harus mendasarkan transaksi anda disaat ini bukan atas transaksi 3 tahun lalu (berpedoman pada UU 28/2009 Pasal 90 ayat 1). Demikian pula NJOP yg dipakai sebagai batas bawah adalah NJOP saat ini.
Namun demikian, saya rasa anda perlu mengkonsultasikan masalah ini ke Pemda dan KPP Pratama setempat. Karena menurut saya masih ada jalan yg bisa ditempuh untuk mengatasinya yaitu anda bisa meminta restitusi atas BPHTB yang sudah anda bayar dahulu. Namun tentunya transaksi saat ini akan dapat berjalan bila BPHTB nya terlebih dahulu anda selesaikan. Hanya sepengetahuan saya proses restitusi ini masih menimbulkan kendala karena aturan teknis mengenai hal tersebut masih dalam taraf pembahasan. Namun jangan khawatir, itu hak setiap WP untuk mengajukan restitusi atau pun kompensasi.
terima kasih banyak pak atas jawabannya. sangat membantu sekali. saya akan konfirmasi ke kpp dan pemda…..
terimakasih tulisannya pak, salam kenal… saya ingin menayakan kepada Pak mengenai harga software/aplikasi PBB P2 atau mungkin bapak tahu vendornya. sekian terimakasih.
Maaf pak gusti, anda dari pemda atau bukan ya ? Karena aplikasi ini tidak dijual bebas….
Ya saya dari pemda.mungkin bapak bisa bantu saya.
Bisa silakan hub saya langsung via email: eddiwhyudi@gmail.com
maaf pak saya ingin bertanya sehubungan dengan di keluarkannya UURI NO.28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.. dalam UURI tersebut hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum.. sedangkan Peraturan Pemerintah No.111 tahun 2000 apakah masih tetap berlaku karena PP tersebut mengatur hal-hal khusus yaitu tentang pengenaan BPHTB karena Waris dan Hibah Wasiat, yang tidak pernah diatur dalam UURI. sedang UURI No.28 tahun 2009 pasal 180 ayat 6 tidak pernah menyebut secara eksplisit PP No.111 tahun 2000 dicabut/tidak berlaku.mohon jawabannya.terima kasih.
Tentunya dengan berlakunya UU 28/2009 khususnya BPHTB, maka UU 20/2000 tentang BPHTB dinyatakan tidak berlaku lagi. Oleh karena itu seluruh peraturan pendukung yg berada dibawahnya dinyatakan tdk berlaku pula. Termasuk PP 111, krn PP tersebut menginduk pada UU 20/2000. Nah untuk itu Pemda seharusnya mereplikasi seluruh aturan2 pendukung tersebut ke dalam peraturan Bupatinya…. Demikian…
Silahkan baca tulisan baru sy terkait pendaerahan PBB P2: https://eddiwahyudi.com/2012/07/19/memahami-pengelolaan-pbb-p2-dan-menyiapkan-peraturan-pendukungnya/
saya mau tanya ini kepada rekan rekan masalah UU PDRD tentang penetapan tarif maksimum di daerah ini . Apakah penetapan tarif maksimum ini akan berdampak besar bagi masyarakat nya dan langkah apa saja yang harus ditempuh Pemda untuk mengatasi dampak tersebut?
Untuk PBB P2 penerapan tarif maksimum jelas akan berdampak positif bagi pemda karena disana akan terjadi peningkatan pokok ketetapan. Sedangkan bagi masyarakat akan menjadi bermakna negatif terutama untuk objek pajak yang NJOP nya dibawah 1 M. Ada beberapa cara utk mengatasi hal tsb. Bagi pemda yg sudah terlanjur menerapkan tarif maksimum dalam perda-nya maka dapat mengambil terobosan dengan memberikan stimulus atau bisa juga pengurangan. Namun dari beberapa kali diskusi pemberian stimulus/ pengurangan massal dasar hukumnya belum ada. Hal inilah yg mungin perlu dipikirkan…
Untuk daerah daerah perbatasan ini yang biasanya menjadi kendala, karena daerah satu dengan daerah tetangga tarif pajaknya tidak sama, masalah ini juga yang saya tanyakan pak, bagaimana pemerintah menanggulangi hal tersebut?
misal pajak rokok di daerah A lebih tinggi dari daerah B maka masyarakat perbatasan akan cenderung memilih membeli di daerah B karena pajaknya lebih rendah atau contoh yg lain. Masalah ini apakah akan mengurangi pendapatan daerah bukan malah menambah ?
mohon penjelasannya
Benar pak, sy sependapat bahwa bisa jadi kedepan akan terjadi perbedaan tarif antata satu daerah dg daerah lainya. Sy rasa hal ini mmg diinginkan oleh si pembuat UU. Namun menurut sy hrs ada yg mengontrol keseimbangannya. Disinilah peran pemerintah provinsi atw pusat berada. Nah utk saat ini sy belum melihat adanya mekanisme itu…
Disinilah dituntut kejelian pemda dalam memgelola revenue nya. Contoh jika pemda akan mendorong investasi di wilayahnya bs jadi dia akan menekan PBB atau BPHYB nya…
Demikian jg yg lainnya…. Diskusi ini cukup menarik utk dikaji lebih daaam karena ada 11 kenis pajak daerah yg bs dikelola oleh pemda
salam kenal pak..
saya mau nanya nih pak :
saya tinggal di kota Pasuruan Jawa Timur
ibu mau mengatasnamakan sertifikat tanah rumah kami dari nama bapak (almarhum) ke ibu dan anak-anaknya.. untuk itu kan musti ngurus peralihan hak waris..
saat ngurus ke kecamatan, diberi blangko SSPD BPHTB.. di blangko tsb, pada point C, tidak ada C.5 dan C.6 seperti blangko dari Dirjen Pajak (hasil browsing).. sehingga pengali 50% tuk waris hilang.. apakah memang itu yg berlaku sekarang sejak BPHTB jadi pajak daerah ??? tapi kenapa di banyak kota lain (hasil browsing), blangko sama persis dengan contoh blangko dirjen pajak ???
NJOP rumah kami 241 jt
NPOPTKP sebesar 300 jt
di blangko, dibawah NJOP kan ada Nilai Transaksi/Nilai Pasar..
karna ini waris, tidak ada jual beli, berarti kan Nilai Transaksi = 0
sedang Nilai Pasar didapatkan dari mana ??? bukannya NJOP itu diambil dr harga rata-rata transaksi jual beli yg wajar ??? apakah NJOP = Nilai Pasar ???
Dispenda setempat, mengisi Nilai Transaksi/Nilai Pasar = NJOP x 1.5
pengali 1.5 itu didapat darimana ya pak ? apakah ada dasarnya ?
Apakah peralihan hak waris (dalam hal ini dr bapak ke ibu), tidak lagi dikalikan 50% ???
maap lho pak, kalo pertanyaannya banyak
saya butuh informasinya biar jelas berapa yg musti kita bayarkan tuk peralihan hak waris ini.. maturnuwun sebelum dan sesudahnya..
Semenjak BPHTB menjadi pajak daerah semua peraturan lama terkait hal tsb sdh tidak berlaku lagi pak. Utk itu daerah hrs menerbitkan aturan baru mengenai hal tsb. Termasuk utk pengurangan 50% karena hibah waris. Setiap daerah bs jadi penerapannya akan berbeda beda..
Sejak penerapan UU 28 dimana BPHTB menjadi pajak daerah maka seluruh ketentuan atau kebijakannya ditentukan oleh daerah masing2. Bisa jadi di daerah anda tdk menerapkan pengurangan 50% bagi transaksi hibah atau waris seperti dulu ketika BPHTB menjadi pajak pusat. Karena UU lama dinyatakan sdh tdk berlaku lg maka aturan2 lama pun demikian….
Salah satu daerah yang tidak menerapkan pengurangan 50% bagi transaksi hibah atau waris adalah Kabupaten Bekasi.
Namun sangat di sayangkan akibat dari keputusan yang tidak tersosialisasi dan perbedaan biaya pajak yang tinggi, sangat berbeda dengan Kota Bekasi yang masih menerapkan pengurangan 50%.
email nya balik pak, saya mau tanya aplikasi PBB P2
Mau tanya’ Pak,efektivitas peranan notaris terhadap peralihan pungutan bphtb dari pusat ke daerah lebih mendukung apa menghambat thdp kinerjanya? (dlm hal jangka waktu pengurusan sertifikat)
Terima kasih
Kalau dari prosedur sebenarnya tidak ada yg berubah karena UU 28 mengadopsi ketentuan yang sama dengan UU 20 sehingga seharusnya tidak ada pengaruh signifikan terhadap pelaksanaannya di lapangan. Namun kenyataannya bisa jadi perbedaan prosedur pelaksanaanya krn setiap daerah dibebaskan mengatur detail pelayanannya termasuk mekanisme dan jangka waktu penyelesaian. Dan kemungkinan bisa jadi pada masa awal peralihan terjadi penurunan kualitas pelayanan termasuk lamanya pelayanan krn msh diperlukan waktu pembelajaran bagi pemda sendiri…
salam kenal pak…
mohon bantuannya nih pak…bagaimana proses dan syarat restitusi BPHTB,apakah dengan adanya restitusi tersebut akan terkendala dalam proses AJB,ada contoh surat permohonan restitusi ga ya
Mohon dibantu ya pak
terima kasih
Utk restitusi tinggal anda pengajukan permohonan atas restitusi tsb ke pemda setempat. Tdk ada hub antara restitusi dg AJB. Artinya restitusi tdk menghambat proses AJB…
Thks atas info nya.
maaf pak, saya mahasiswa yang sekarang sedang skripsi dan saya mau meneliti tentang dapak pengalihan bphtb terhadap pad di kab/kota di provinsi jawa timur. boleh minta masukan sumber2 ya bisa saya gunakan gak pak?? saya juga sekarang sedang mencari data perolehan bphtb 2 tahun sebelum dan sesudah dialihkan, kira2 saya bisa dapat data itu dari mana ya pak??terimakasih pak dan mohon dibalas,. :)
Silakan pelajari materi ttg desentralisasi fiskal, otonomi daerah dan sejenisnya. Data bisa diperoleh di dispenda dan KPP Pratama setempat.
salam kenal pak,,saya mahasiswa yang lagi nyusun skripsi tentang pelaksanaan bphtb di jawa timur. saya minta masukan kira2 saya bisa dapet sumber data bphtb sebelum dan setelah dialihkan dari mana ya pak?? saya juga minta masukan kira2 sumber2 pusataka yang bisa saya gunakan apa saja ya pak??
terimakasih sebelumnya..
Data tsb bs anda peroleh di KP DJP, KPP Pratama atw dispenda setempat
Tq.
Data tsb bisa diperoleh di KP DJP, KPP Pratama atw dispenda setempat..
Tq
makasih pak. .
Sama2 semoga bermanfaat..
salam kenal pak
saya mau nanya pak,tugas pokok OC itu apa dan yang perlu diperhatikan sebagai OC itu apa pak?
Salam kenal pak rudi… OC itu bertugas mengelola IT yg menjadi bidang tugasnya. Dalam hal OC SISMIOP dia bertugas mengelola hard ware dan soft ware termasuk manajemen input/output data…
OC bertugas mengelola hard ware dan soft ware terkait dg sistem IT yg ditangani. Dlm hal terkait dg pengelolaan PBB P2 maka OC bertugas utk mengelola IT terkait dg penggunaan apl SISMIOP termasuk mengelola input/out put data..
Selamat siang pak, sya mau tanya..
1. Sebaiknya untuk pengurusan restitusi PBB dan BPHTB itu persyaratannya apa saja?
setelah bayar BPHTB saya dapat SPTPD-BPHTB rangkap 5 lembar, setelah itu apa yg hrs saya lakukan ? , lapor kah ? atau msh ada yg hrs saya bayar lagi ?
mohon penjelasannya, tks.
Prosedurnya melakukan pembayaran BPHTB ke bank yg ditunjuk dan melaporkan SSP BPHTB tsb ke pemda setempat. Stl itu proses AJB dapat berjalan….
Mas Eddy ,saya sudah bayar BPHTB tetapi bukti BPHTB tersebut sudah kebuang karena kena banjir, saya tanya ke UPPD minta asip dia bilang tidak ada karena tidak di validasi disna, (saya ngurus serifikat tanah waktu ada Prona di kelurahan). Saya cari dikelurahan tanya dengan orang yang menangani itu dia bilang tidak ada arsip? Kemana saya harus cari ?
Lembar pembayaran BPHTB yg disebut SSB BPHTB itu ada 5 lembar diberikan kpd: WP, 2 lbr bank penerima pembayaran, dispeda/DPKAD/sejenisnya dan notaris ppat. Jd bpk bs cari di lokasi itu. Tq
pak mau tanya..
indikator pengelolaan PBB di Desa itu apa aja?
Jumlah pokok ketetapan/SPPT yang berhasil ditagih..
Your comment is awaiting moderation.
pak mau tanya..
indikator pengelolaan PBB di Desa itu apa aja?
siang pak…
Kenapa y harus ada yg namanya pajak pusat dan daerah…?
dan kenapa semuanya tidak di pungut oleh daerah saja, bukannya
it lebih memudahkan?
kira2 pertimbangan apa yang membuat pajak it dinamakan pajak pusat?
terima kasih
Karena wil indonesia sangat luas dan beragam, tdk semua dae memiliki kekayaan alam yg sama sbg PAD. Maka perlu pajak pusat utk menyeimbangkan penerimaan dae shg pembamgunan dpt berjalan merata
Yth. Pak Eddhi,
Salam kenal,
Saya ada permasalahan di Bphtb Apartemen yang menurut saya lebih bayar . Ini terjadi pada saat proses pembuatan AJB dan Bphtb muncul revisi sppt pbb revisi yang nilainya lebih rendah dari sppt pbb yang sudah terlanjur saya bayar.
Saya datang ke dispenda untuk minta restitusi bpthb ternyata tidak bisa. Dikatakan karena AJB saya tertanggal 16 Juni 2016, sedangkan revisi Pbb tertanggal 23 Juni. Jadi notaris buat bphtb dan AJB berdasarkan pbb yang sudah terlanjur saya bayar itu.
Jika saja saya tahu bakal ada revisi tentu saja saya tidak akan menggunakan sppt pbb yg salah itu.
Apa yang harus saya lakukan supaya saya dapat me-restitusi bphtb saya yang menurut saya lumayan besar 16 juta .
Terima kasih atas jawaban dan penjelasan bapak.
Wass.
Bisa dilakukan restitusi ke Pemda setempat
Yth, Bpk. Eddhi
Pak saya mau tanya terkait BPHTB,
1. jika transaksi jual beli kavling/tanah kosong dgn PPJB atau dibawah tangan kemudian saat buat AJB tanah tsb sdh ada bangunan. Apakah bangunan tersebut jadi objek BPHTB???
2. Apakah mungkin AJB sudah ada tapi BPHTB belum dibayar? Dan bagaimana seharusnya?
3. Apakah nilai NPOP BPHTB bisa sama dgn NJOP pada sppt hasil mutasi Sppt?
terima kasih pak ini menambah pengetahuan saya sekali, sangat bermanfaat
izin ada sedikit yg saya copas